Awalnya Pakai Kayu Dipan, Pilih Ori Tua karena Tahan Lama

Ide dan gagasan terkadang muncul dalam situasi yang terbatas atau kepepet. Seperti lahirnya alat musik berbahan bambu kreasi Onki Leman Frastia ini. Seperti apa proses kreatifnya?

MIFTAHUL HUDA

Klung…, klung…, klung… suara yang terdengar di gedung Dewan Kesenian Kota Batu (DKKB) Jumat (19/4) bukanlah suara angklung. Nada itu keluar dari alat musik temuan Onki Leman Frastia.

Suara alat musik yang terlihat mirip perpaduan gambang dan gamelan Lampung itu memang belum begitu familier di telinga masyarakat. Sepintas, bentuknya seperti gambang, tapi suara yang dihasilkan mirip angklung. Sementara untuk notasinya menggunakan laras pelog, khas seperti gamelan Jawa.
Meski terkesan agak rumit, tapi alat musik kreasi pria asal Desa Oro-Oro Ombo, Kecamatan Batu, Kota Batu, ini mulai membetot perhatian penikmat musik.

Tahun lalu, alat musik kreasinya masuk nominasi inovasi unggulan di ajang Festival Alat Musik Bambu yang digelar Taman Candra Wilwatikta, Pandaan, Agustus 2018. ”Saya mengawali proses riset dan uji coba pembuatan alat musik ini sejak 2014,” ujarnya.

Namun siapa sangka, ide awal alat musik yang 99 persen berbahan bambu tersebut berawal dari sebuah keterbatasan. Saat itu dia mendapat tanggung jawab salah satu SMA di Kota Batu untuk mengajar musik karawitan. Lantaran keterbatasan alat, dia teringat dengan dipan (tempat tidur) di rumahnya yang terbuat dari kayu. Dia lantas memodifikasinya menjadi alat musik tradisional gambang.

Bukan uji coba namanya kalau tidak ada kendala. Kayu bekas dipan yang sudah berbentuk gambang itu, resonansinya dirasakan tak sesuai dengan keinginannya. Onki pun teringat dengan bambu jenis ori yang diyakini sangat pas untuk menuruti nada seperti yang dia inginkan.

Sejak itulah, dia mulai berburu bambu jenis ori sebagai bahan baku utama alat musik unik tersebut. ”Sempat beberapa kali melakukan eksperimen, akhirnya saya pakai bambu jenis ori ini,” imbuh pria berusia 23 tahun tersebut.

Untuk proses pembuatan, dia hanya membutuhkan waktu 4–5 jam. Untuk panjang bambu yang berfungsi sebagai tabung resonansi disesuaikan rata-rata sekitar 45 cm. Barulah proses selanjutnya menyiapkan bilah demi bilah bambu yang nantinya sebagai ukuran nada sesuai kebutuhan. Menurut dia, semakin panjang bilah bambu yang digunakan, nada yang keluar akan semakin tinggi. Sebaliknya, semakin pendek bilah bambu maka nadanya semakin rendah.

”Ada 9 bilah yang saya buat. Karena pelog, ya sebenarnya menyesuaikan saja untuk perkara nadanya,” terang alumnus S-1 Pendidikan Seni Tari dan Musik Universitas Negeri Malang (UM) tersebut.

Untuk menghasilkan alat musik yang hingga kini belum diberi nama itu, Onki menyatakan, tak butuh modal banyak. Namun tak disangka, temuannya tersebut direspons positif oleh para pencinta musik. Saat ini satu set alat musiknya dihargai Rp 5 jutaan. ”Dulu modal awalnya sih Rp 100 ribuan. Sekarang malah dihargai Rp 5 jutaan, saya sendiri juga heran,” ujarnya lantas tersenyum.

Meski secara visual sangat unik, tapi dari segi ketahanan, alat musik temuannya ini diakui masih butuh pembuktian. Meski begitu, dia menjamin alat musiknya bisa bertahan hingga bertahun-tahun jika perawatan yang dilakukan benar.

Dia menyebut, semua alat musik racikannya itu dibuat dari bambu ori yang tua dan benar-benar kering. ”Selain memengaruhi suara yang dihasilkan, bambu ori yang tua juga akan tahan lama,” beber  pendiri sanggar Suara Untuk Indonesia (SUI) ini.

Selain mendapat apresiasi sebagai alat musik inovatif, Onki mengaku sering di-endorse mahasiswa guna kepentingan pengerjaan tugas akhir. ”Banyak juga mahasiswa yang pinjam untuk penggalian data skripsi,” ujar pria yang juga menjabat kepala Seksi Permusikan DKKB ini.

Sumber dari: https://radarmalang.id/awalnya-pakai-kayu-dipan-pilih-ori-tua-karena-tahan-lama/

Leave a Reply

Your email address will not be published.