ANTIKORUPSI DAN PENDIDIKAN NILAI KEJUJURAN

ANTIKORUPSI DAN PENDIDIKAN NILAI KEJUJURAN, Malang Post 4 Maret 2017

ANTIKORUPSI DAN PENDIDIKAN NILAI KEJUJURAN, Malang Post 4 Maret 2017

kliping koran tanggl 4-6 mret0005_1 Malang Post 4 Maret 2017

Malang Post 4 Maret 2017

Artikel: Nur Fidayot Praktisi Pendidikan Dasar dan Pendidikan Nilai Lulusan Terbaik Prodi SI PGSD Universitas Negerl Malang Tahun 2016

MASALAHnegaradibidangsumber daya manusia begitu banyak, salah satunya mengenai kasus pungli dan korupsi. Data dari KPK tentang penanganan perkara tindak pidana korupsi pada tahun 2016 per 31 Agustus 2016 saja ada 61 perkara penyelidikan, 58 perkara penyidikan, dan 46 perkara penuntutan. Hal itu, menunjukkan adanya peningkatan tindak perkara dari tahun sebelumnya. Sungguh keadaan yang sangat memprihatinkan. Bahkan, ketika sudah tiga tahun penandatanganan konvensi anti korupsi yang dilakukan PBB pada 31 Oktober 2013 yang lalu, masih saja kasus yang demikian tetap teijadi.

Masalah korupsi dan pungli yang terjadi di negara ini merupakan bentuk lemahnya karakter masyarakat. Sekolah sebagai wadah penyiapan SDM yang berkualitas dan berkarakter tentu harus bertanggung jawab terhadap fenomena yang terjadi. Walaupun tidak sepenuhnya menjadi kesalahan sekolah. Namun, sebagai lembaga yang mendidik generasi bangsa, nampaknya kejadian ini patut dijadikan pelajaran dan bahan renungan tentang sistem pendidikan yang diterapkan.

Pendidikan yang Overcognitif

Sudah hampir satu abad lamanya sistem pendidikan kita lebih me-mentingkan aspek kognitif (pikiran,mated) dari pada aspek afektif dan
konasi (hati, rasa). Siswa-siswanya hanya menghafalkan materi, guru- gurunya hanya mentransler ilmu, hingga lingkungan sekolahnya hanya sebagai taman tak berbunga. Bukti ini nampak nyata ketika penilaian yang dipakai berupa ujian nasional yang hanya mementingkan aspek pikir saja.

Sebagai sebuah tempat belajar (learning), seharusnya sekolah menjadi taman yang menyenangkan bagi siswa. Taman yang menumbuhkan karakter baik siswa, gum, kepala sekolah, penjaga sekolah, dan seluruh sivitas yang ada di sekolah itu. Nyatanya, pendidikan yang terjadi di sekolah jauh dari hal yang diharapkan itu.

Lebih lanjut kita perlu memegang teguhanalogi yang disampaikan oleh Bapak Pendidikan Nasional kita, Ki HajarDewantara. Beliau menyatakan bahwa “anak yang dilahirkan boleh diumpamakan seperti sehelai kertas yang sudah ada tulisannya, tetapi semua tulisan itu kabur (dootted/bertitik-titik). Pendidikan berkewajiban menebalkan segala tulisan kabur yang berisi baik agar kelak nampak sebagai budi pekerti yang  baik. Tetapi sebaliknya segala tulisan kabur yang bermakna buruk hendaknya dibiarkan agar jangan sampai tumbuh menjadi tebal bahkan diharapkan semakin kabur” .Nampak jelas bahwa seharusnya pendidikan yang ada perlu menumbuhkan budi pekerti yang baik dengan menjadikan sekolah sebagai taman bukan sebagai penjara bagi siswanya.

Terlebih ketika diberlakukannya kurikulum 2013, yang rencananya di tahun 2020 akan berlaku di semua sekolah di Indonesia. Kurikulum ini menghendaki peran yang seimbang antara aspek kognitif, afektif, dan psikomotor, dengan titik tekan pada ranah afektif, pengembangan budi pekerti. Oleh karenanya, perlu adanya revitalisasi dan transfrmasi dari overkognitif ke keseimbangan ranah serta penguatan nilai karakter siswanya.

Mencari Arah Perubahan Sistem

Jika kita lihat mengenai sistem pendidikan kita, maka kita tentu mempertanyakan kekonsistensian pendidikan yang ada. Pendidikan dinilai tak ubanya sebagai permainan politik saja, ganti pemerintahan ganti kebijakan. Mungkin memang benar yang disampaikan oleh Prof. Dr
H.A.R. Tilar, bahwa pendidikan di Indonesia masih dalam mencari arah dan belum pasti. Mungkin karena itu pula, produk kebobrokan pendidikan masa lalu mulai menampakkan batang hidungnya saat ini, yaitu dengan banyaknya kasus pergeseran nilai.

Adanya ketidakpastian dan belum sempumanya sistem yang di bangun dalam pendidikan di Indonesia,
tidak lantas pula sebagai sivitas pendidikan berpangku tangan. Kita perlu melakukan perubahan, bertindak secara transformasional. Dalam konteks pendidikan formal, perubahan dapat dimulai dari lingkup yang kecil yaitu kelas dan sekolah, melalui kebijakan-kebijakan altematif oleh guru dan kepala seolah dalam pembelajaran dan manajemen sekolah. Salah satuupayanya dengan mengintegrasikan nilai karakter dan pendidikan antikorupsi dalam sistem lingkungan pembelajaran, kegiatan ekstrakurikuler, pengembangan diri, dan budaya sekolah.

Dalam lingkup kelas, guru perlu mengintegrasikan pada sistem lingkungan pembelajaran. Tak usah muluk-muluk memperbaiki RPP atau
berbagai administrasi lainnya. Cukup fokus pada interaksi saat proses pembelajaran. Guru wajib menjadi figur teladan, membiasaan berbagai
nilai karakter baik. Khusus untuk nilai karakter jujur dan antikorupsi, guru perlu menggunakan model VCT, sosiodrama, atau membiasakannya lewat kegiatan keuangan kelas.

Dalam lingkup sekolah, beberapa program pembiasaan nilai perlu digalakkan. Salah satu bentuk pembiasaan nilai karakter kejujuran di sekolah yaitu melalui kantin kejujuran. Kantin kejujuran menjadi corong pemeriksa kemajuan dan penumbuhan nilai karakter jujur dan
anti korupsi. Tentu perlu adanya sosialisasi yang masif dan pengawasan yang baik. Jika terjadi kerugian, kantin kej uj uran ini perlu di evaluasi bukan ditutup. Tentu, menanamkan nilai membutuhkan proses, oleh karenanya tak ada kata menyerah bila gagal. Terns berusaha. Ingatlah bahwa tugas kita mencerdaskan dan membentuk karakter anak bangsa menjadi lebih baik.

Leave a Reply

Your email address will not be published.