Akademisi Universitas Negeri Malang Bahas Pajak Jual Beli Online

Akademisi Universitas Negeri Malang Bahas Pajak Jual Beli Online

SURYAMALANG.COM, KLOJEN – Seminar perpajakan nasional “Transparansi Di Era Digital: Apa Kabar Perpajakan Indonesia” digelar di Gedung D4 Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Malang (UM), Minggu (29/4/2018).

Pembicaranya dosen Universitas Brawijaya dan pejabat Kemenkeu.

Ali Irfan, dosen Akuntansi Universitas Brawijaya Malang, membawakan tema perpajakan di dunia digital.

“Sudah banyak yang belanja lewat digital atau ecommerce. Staf saya tidak pernah terlihat keluar ruang, tapi paketan selalu ada yang datang,” tutur Ali.

Akademisi Universitas Negeri Malang Bahas Pajak Jual Beli Online

sylvianita widyawati//Seminar perpajakan nasional “Transparansi Di Era Digital: Apa Kabar Perpajakan Indonesia” digelar di Gedung D4 Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Malang (UM), Minggu (29/4/2018).

Semua dilakukan dari mejanya dehingga tergeser pola pembelian meski masih sesekali ke mall untuk membeli sesuatu. Lewat HP atau komputer bisa dipakai membeli baju, sepatu dll. Pergeseran pola membuat otoritas agak tergagap.

“Sebenarnya sisi UU nya sudah ada. Tapi jika diterapkan ke yang detil perlu aturan teknis lagi, seperti permenkeu, peraturan dirjen,” kata dia.

Penjualan online lewat media sosial saat ini gratis atau tak terkena pajak. Namun di satu sisi, pengguna Facebook dan Google yang besar di Indonesia malah dimanfaatkan untuk mencari iklan oleh pengelolanya.

“Namun pajaknya tidak ke Indonesia. Kendalanya dari regulasi. Sebab yang menjadi payung hukum sebuah negara memajaki entitas jika punya BOT (Build Operate Transfer),” kata dia.

Sementara seperti FB tak memiliki kantor di Indonesia sehingga tidak bisa dipajaki.

Iklan-iklan dengan materi yang biasanya diakses pengguna menjadi pasar buat pengelola. Misalkan yang hobi browsing traveling/hotel, maka di Facebook pasti akan muncul iklan-iklan yang kemungkinan disukai penggunanya.

Sedangkan pelaku ecommerce di Indonesia yang memanfaatkan media sosial sebagian besar adalah UMKM.

Ini menjadi tantangan bagi pemerintah. Apalagi agak sulit mengontrol aliran dana jika bentuk transaksinya dalam chatting (percakapan).

Namun ia menyarankan kuncinya pada kepatuhan seperti melaporkan pendapatannya. “Tidak perlu takut soal transparansi. Sebab saya yakin dari regulator akan proporsional,” kata dia.

Sedang Arifin Rosid dari Ditjen Pajak Kemenkeu memaparkan soal arah kebijakan pasca tax amnesty ( TA) yang berakhir pada 2017 lalu.

Dari TA lalu, tertinggi tebusannya mencapai Rp 2,6 triliun. Sedang deklarasi harta tertinggi mencapai Rp 125 triliun. Sedang tembusan terendah Rp 10 dan deklarasi terendah Rp 2.000.

“Dari sisi TA sukses. Tapi dari sisi kepatuhan pajak sangat rendah. Sebab tebusan tertinggi satu entitas mencapai Rp 2,6 T, ” ujar Airifin. Kata dia, dengan hal itu perlu melakukan reformasi perpajakan antara lain meliputi SDM, basis data dan menyederhanakan basis pajak.

Hal ini karena bisa saja ada wajib pajak ingin patuh. Namun karena formulirnya sulit dipahami maka jadi malas melaporkan.

“Di Australia, Inggris ada kantor yang khusus yang menyederhanakan pajak. Nanti ke depan kita arahnya ke sana,” kata dia.

Sedang Ihda Muktiyanto, Direktorat Pengembangan Pengelolaan Kemenkeu menjelaskan pembelajaan negara selain diperoleh dari pendapatan pajak dan non pajak juga dari utang. Salah satunya lewat surat utang negara (SUN).

“Di Indonesia ada kebijakan ekspansif. Tujuannya untuk mendorong percepatan perekonomian,” kata Idha.

Untuk itu, utang harus dikelola dengan baik. Durasi pengembalian utang beragam waktunya. Utang negara antara lain untuk pembangunan infrastruktur, pendidikan dan kesehatan. Ia mencontohkan salah satu proyek dari utang seperti jembatan Suramadu.

Juga proyek infrastruktur yang jika tidak dibangun sekarang maka nilainya makin mahal. Seperti tol Jakarta-Surabaya. Sedang Chairul Adi dari Direktorat Surat Utang Negara lebih spesifik bicara soal SUN seperti lewat obligasi. Beberapa pertanyaan peserta antara lain dari Kristin, mahasiswa FIA UB.

“Apa yang dilakukan pemerintah pada transaksi tak terekam lewat media sosial?” tanya Kristin.

Ali Irfan menyatakan meski belum ada regulasi soal e commerse, maka otomatis semua penghasilan tidak kena pajak. Namun sebaiknya dilaporkan meski tidak kena pajak.

“Seperti terima warisan. Dilaporkan saja meski tidak kena pajak,” ujarnya.

Banyak hasil diraup selebgram misalkan lewat endorse tak terdeteksi. Tapi dari pembeliannya dengan uang itu misalkan untuk beli emas, rumah, belanja dll bisa dideteksi. Apa sudah punya NPWP atau belum.

“Jika belum, maka perlu dikenalkan. Semua dilaporkan saja biar enak hidupnya,” ujar Ali.

Sumber dari: http://suryamalang.tribunnews.com/2018/04/29/akademisi-universitas-negeri-malang-bahas-pajak-jual-beli-online?page=all

Leave a Reply

Your email address will not be published.