Pengalaman Susmitha Nurzaini Mahasiswi UM Berpuasa di Eropa, Baca Buku Bahasa Austria untuk Menghilangkan Dahaga

Sabtu, 16 Maret 2024 | 11:00 WIB

HARI-HARI Mitha di Austria tak lepas dari jaket tebal.

Berlapis-lapis pula.

Itu karena Austria, terutama Kota Gloggnitz, tempat tinggal Mitha itu memasuki musim dingin ”Suhu di sini (Austria) 4 derajat Celsius,” ujar Mitha melalui sambungan telepon seluler (ponsel) pada Kamis (14/3).

Saat itu, di Austria masih hari Rabu malam (13/3).

”Ada selisih waktu empat jam antara Indonesia dan Austria,” tambah sarjana sastra Jerman Universitas Negeri Malang (UM) yang sedang menjalani program Au-Pair di Austria.

MENGISI HARI LIBUR: Susmitha Nurzaini menikmati keindahan kota Wina, Austria. Dia menempuh jarak 85,7 kilometer dari tempat tinggalnya di Kota Gloggnitz. (Susmitha Nurzaini for radar malang)

MENGISI HARI LIBUR: Susmitha Nurzaini menikmati keindahan kota Wina, Austria. Dia menempuh jarak 85,7 kilometer dari tempat tinggalnya di Kota Gloggnitz. (Susmitha Nurzaini for radar malang)

Au-Pair merupakan program pertukaran bahasa dan budaya dengan negara asing, termasuk Austria.

Mahasiswa Indonesia yang mengikuti program tersebut akan tinggal negara tersebut.

Selama menjalankan program tersebut, mahasiswa asal Indonesia tinggal bersama keluarga angkat.

Komunikasi kesehariannya menggunakan bahasa negara tersebut.

Mitha sudah berada di Austria sejak tujuh bulan lalu.

Meski sudah diberi keluarga angkat, Mitha lebih suka tinggal di apartemen.

Jaraknya sekitar 2 kilometer dengan rumah keluarga angkat.

Atau kalau ditempuh dengan jalan kaki membutuhkan waktu sekitar 15 menit.

Tahun ini merupakan Ramadan pertamanya di mancanegara.

Karena itu, dia merasakan perbedaan menjalani puasa di Indonesia dibanding Austria.

Selain memaksa tubuhnya untuk beradaptasi dengan cuaca ingin, perempuan 23 tahun itu juga kesulitan mendapatkan menu berbuka yang terjamin kehalalannya.

Karena itu, dia lebih suka memasak sendiri untuk sahur dan buka puasa, ketimbang membeli di restoran.

”Kalau di restoran itu selain mahal, kehalalannya juga masih diragukan,” kata dia.

Di Kota Gloggnitz, dia jarang mendengar azan berkumandang.

Sebagai muslim yang menjalani ibadah puasa, tentu dia membutuhkan suara azan sebagai patokan waktu.

Terutama azan magrib yang menjadi penanda waktu buka puasa.

”Di tempat saya tidak ada masjid sama sekali. Masjid yang bisa dijangkau hanya di Wina, pusat ibu kota Austria. Jaraknya 85,7 kilometer,” kata warga Jalan Sigura-gura, Kelurahan Sumbersari, Kecamatan Lowokwaru, Kota Malang itu.

Puasa di negara dengan hawa dingin menjadi tantangan tersendiri bagi Mitha. Perempuan yang belum berkeluarga itu sering merasa haus.

Ditambah lagi kesehariannya yang harus menemani anak asuhnya yang down syndrome. Tentu membutuhkan energi dan menguras kesabaran.

”Di sini (Austria) gampang haus dan kulit kering,” katanya.

Ketika haus dan dahaga, biasanya dia mengalihkan dengan aktivitas lain.

Salah satunya membuka buku bahasa Austria.

Hal itu juga dilakukan saat keluarga angkatnya makan siang.

Saat ini, Austria di pengujung musim dingin menuju musim semi.

Seharusnya pertengahan Maret depan sudah mulai masuk musim berikutnya.

Karena matahari tetap terik, sementara salju masih berjatuhan.

Lebaran nanti dia ingin ke Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) Jerman, tetangga Austria.

Dia sudah mendengar informasi bahwa warga Indonesia yang tinggal di Austria selalu berkumpul untuk merayakan Idul Fitri di Jerman.

”Diawali salat Idul Fitri bersama, berlanjut menyantap hidangan Indonesia yang enak dan dirindukan,” kata dia. (*/dan)

Sumber/https://radarmalang.jawapos.com/kota-malang/814446765/pengalaman-susmitha-nurzaini-mahasiswi-um-berpuasa-di-eropa-baca-buku-bahasa-austria-untuk-menghilangkan-dahaga