Mensinergikan Mudik Fisfk dan Spiritualitas

scan e mas joko0007_1

Malang Post 2 Juli 2016

Malang Post 2 Juli 2016

 

 

 

 

 

 

 

Mensinergikan Mudik Fisfk dan Spiritualitas

Oleh: SUBHAN, S.PD, M.SIGuru Sejarah dan Sosiologi MAN 1 Tlogomas Malang Saat ini sedang menempuh pendidikan program doktor di PPS Universitas Negeri Malang

MUDIK Lebaran menjadi fenomena sosiologis setiap tahun di Indonesia. Mudik menjadi manifestasi sosial kultural, menggambarkan tingkat keterikatan, kekerabatan, kedekatan primordial, aktualisasi, dan eksistensi sosial. Mudik kadang kala juga dipandang sebagai keku – atan kedekatan (proximity) horizontal tidak hanya terhadap sesama manusia, tetapi juga lingkungannya. Mudik dari kaum urban sebagai
ukuran kecintaan terhadap daerah masing-masing.

Realitas tersebut telah menunjukkan bahwa mayoritas entitas bangsa Indonesia , umumnya ada semacam kebutuhan kultural yang seolah olah sebuah kekuatan yang mampu “memaksa” para perantau pulang kampung untuk mengunjungi orang tua dan kerabat mereka pada saat Lebaran. Kebutuhan kultural itu begitu kuatnya dan mendorong orang
untuk pulang mudik. Dorongan itu semakin kuat dengan adanya persepsi bahwa kesempatan yang paling cocok dan pantas bagi anak-
anak untuk sungkem dan mohon maaf atas kesalahan dan kekhilafan kepada orang tua dan kerabat mereka adalah saat Lebaran.

Melalui hari itu pulalah kesempatan yang dinanti para orang tua untuk bertemu dengan anak-anaknya, memberikan maaf dan doa restu agar anak-anak itu dapat hidup dalam ketenteraman dan lebih sejahtera di masa mendatang. Budaya mudik Lebaran ini hampir bisa ditemukan di setiap kalangan, baik kalangan elite dengan memakai kendaraan pribadi hingga kalangan grass roots yang antre menunggu giliran pul – ang.

Budaya yang memahami, amat urgennya makna mudik ke kampung halaman, apa pun risiko yang harus dihadapi, mudik lebaran tetap me njadi suatu keharusan. Mereka rela bersusah payah hanya dengan satu tujuan untuk bertemu dan kembali menjalin hubungan emosiona litas yang sempat “terputus” dengan keluarga dan para tetangga di kampung halamannya. Tidak heran, berbagai ruangpublik seperti sta – siun kereta apt, terminal, pelabuhan, bandara udara, jalan raya dipadati pemudik, termasuk juga pelajar dan mahasiswa.

Pemaknaan Mudik

Melihat hingar bingar rutinitas mudik yang sedemikian rupa selama ini, mungkin dibenak kita terbesit beberapa pertanyaan, apakah pemudik mengerti makna mudik yang sebenarnya? Bagaimana akar sejarah atau akar sosiologis lebaran dipahami? Pertanyaan funda mental tersebut menjadi penting agar kebiasaan mudik tidak dilaku kan sebatas ikut-ikutan tren dan kita menjadi ‘korban’ ketidaktahuan budaya sehingga tradisi itu menjadi kering dan hampa makna.

Kebanyakan orang melakukan mudik lebaran tidak dilandasi pema – haman tentang makna mudik yang sebenarnya. Mudik dilakukan tanpa didasari makna filosofi. Tidak ayal bila mudik lebih didorong oleh per – gaulan sosial. Spirit mudik lebaran lebih didorong budaya modem dengan sekian banyak kamuflase. Mudik Lebaran bukan dilandasi pemahaman mendalam dan jemih tentang apa makna spiritual mudik.

Mudik yang selama ini sudah dianggap sebagai realitas permanen, mudik juga mendapatkan legitimasi agama yang kuat karena agama memberikan makna ibadah yang strategis dalam mudik yaitu untuk silaturahmi dengan keluarga dan masyarakat kampung halamannya. Berangkat dari perspektif agama silaturahmi dipandang sebagai ibadah yang tidak boleh ditinggalkan, bahkan melalui silaturahmi, usia Seseorang dapat diperpanjang dan rezekinya pun akan bertambah banyak.

Oleh sebab itu, mudik harus mendapatkan pemaknaan yang positif untuk menjalankan ajaran agama yaitu menyempurnakan ibadah puasa yang sudah dilakukannya selama sebulan penuh dengan sila turahmi dan bersedekah. Pemaknaan itu penting agar mudik tidak hanya perjalanan yang bersifat fisik saja yang melelahkan dan meny edot dana yang besar, tetapi juga menjadi perjalanan spiritual yang mencerahkan.

Berangkat dari konteks ini, spiritualitas mudik menjadi momentum kebangkitan seorang urban untuk berjuang terus melawan kemiskinannya, bukan hanya kemiskinan mated, tetapi juga kemiskinan spiritual sehingga menuntun perilakunya menaklukkan kehidupan kota dengan bekal moralitas yang kuat, sebab tanpa bekal moral yangn kuat akan mengantarkannya menjadi seorang pecundang saja.

Kebanyakan orang lebih mudah memahami mudik tak lebih diartikan hanya sebatas dilekatkan dengan pulang kampung di desa dan lebaran sehingga terkesan tidak ada makna lebih dalam yang disematkan terhadap mudik lebaran sebagaimana disebutkan di atas tentang arti mudik, yakni mampu memahami mudik sebagai suatu peijalanan spiritualitas.

Nilai positif

Ritual mudik lebaran sebenamya tidak hanya terjadi di Indonesia. Ha – mpir selumh negara yang menganut agama Islam, misalnya muslim di Timur Tengah, India, Turki, Malaysia, bahkan di China, juga mengalami hal serupa. Dilihat dari perspektif sosial, mudik tidak bisa dilepaskan dari tradisi lebaran yang identik dengan agama.

Sejak dahulu mudik dijadikan sebagai wahana untuk kembali ke kampung halaman demi keberlangsungan tali silaturahim. Untuk melaksanakan hal tersebut, pemudik sampai rela berdesak desakkan, antre tiket, dan menjadi korban kemacetan transportasi yang sudah menjadi rutinitas tahunan., tetapi jika dianalisis lebih jauh, mudik mempunyai beberapa nilai-nilai luhur yang patut untuk dipertahankan.

Pertama, mudik menjadi sarana untuk memperkuat konsep spiritual yang telah terkikis oleh rasionalitas kemodeman perkotaan. Menurut Smith dan Feagin (1991), kota-kota besar berperan penting terhadap perkembangan dinamika sistem ekonomi kapitalissecara umum dan menjadi locus dari rasionalisasi. Dampaknya adalah kehidupan mas – yarakat berorientasi pada materi dan rasionalitas mengikis nilai-nilai normatif spiritual.

Berangkat dari perspektif terse¬ but, mudik bisa kita tempatkan sebagai sarana untuk menyegarkan kehausan. spiritual serta merengkuh rangkaian wasiat dan nasihat dari sanak-saudara dan upaya memenuhi tuntutan sukma untuk bertertm dan berakrabv – akrab dengan asa l-usulnya.

Kedua, meningkatkan solidatitas dan tali silaturahim. Andre Moller dalam buku Ramadan di jawa (2002) mengemukakan bahwa mudik merupakan ritus unik untuk menyambut Ramadhan dan Hari Raya Idul Fitri. Hari raya umat beragama Islam ini merupakan ajang  untuk bers – ilaturahim dan bergumul dengan sanak-saudara dan handai taulan. ttarapannya, dengan menjalin kembali tali silaturahim yang mulai me – ngendor tersebut akan meningkatkan solidaritas dan semangat komunahtas.

Ketiga, meningkatkan etos dan motivasi. Seperti diungkapkan oleh Saunders (1995), mudik dapat dilihat sebagai bagian dari pemulihan energi positif. Hal tersebut bisa dipahami dengan rememorize perjuangan dan cita-cita hidup yang telah dikonsep di daerah yang kemudian akan dibawa ke kota. Nostalgia perjuangan hidup akan meningkatkan motivasi dan etos untuk menuju yang lebih baik.

Berangkat dari ke-3 (tiga) nilai-nilai luhur positif mudik itulah kita bisa memahami hakikat mudik yang sebenamya., nilai-nilai luhur yang ada tersebut, sekiranya patut untuk kita pertahankan dan mudik spiritual juga harus dilakukan oleh para pemimpin bangsa dan tokoh masyarakat karena mudik spiritual akan membentuk kesadaran baru, kinerja baru, semangat bam, kornitmen baru, serta keqa nyata yang bam untuk masa depan Indonesia yang lebih baik, lebih adil, dan lebih sejahtera untuk seluruh rakyatnya. (*)

Leave a Reply

Your email address will not be published.