Kisah Kudnat oleh Teater Hampa Indonesia

SURYA.co.id – Teater Hampa Indonesia sukses melangsungkan pementasan produksinya, Selasa (15/10/2019).

Digelar di Gedung Sasana Budaya Universitas Negeri Malang (UM), teater yang merupakan unit kegiatan mahasiswa (UKM) di UM itu mampu menyedot perhatian penontonnya.

Pementasan yang memerankan naskah Kudnat itu selain mengangkat isu perebutan kekuasaan juga menampilkan sisi etik dengan dibalut kesenian bantengan.

Pementasan yang disutradarai M Zainul Alamsyah itu berkisah tentang banyaknya sapi warga yang mati setiap malam.

Warga menduga kematian sapi-sapi itu disebabkan oleh aktivitas ritual mantan kepala desa yang memiliki kelompok kesenian bantengan.

Isu itu semakin kencang hingga warga berspekulasi, kelompok itu membunuh sapi-sapi warga untuk meningkatkan kekuatan kanuragan yang menurut mereka itu syirik dan tidak pantas dilakukan kaum beriman.

“Dulu sang mantan kepala desa cukup disegani dan dipercaya setiap omongannya kini dibenci para warga hingga ada yang ingin membunuh dia dan keluarganya karena diduga membunuh sapi-sapi warga,” ujar Zainul.

Kasak-kusuk warga pun akhirnya mulai menemukan titik terang ketika hansip desa menemukan botol berisi potas di sekitar kandang sapi warga yang diduga digunakan untuk membunuh sapi-sapi itu.

Dugaan ritual bantengan sedikit mereda, namun yang menjadi kasak-kusuk lagi adalah motif dari pembunuhan sapi-sapi warga.

Akhirnya tersiar kabar, cucu sang kepala desa yang kini menjabat tiba-tiba tewas akibat tidak sengaja menenggak potas yang ada di kamar kakeknya karena dikira minuman.

“Di sinilah warga tahu siapa pelaku sebenarnya dari tewasnya sapi-sapi warga,” ungkap sang sutradara.

Diwawancarai setelah pementasan berakhir, Zainul menerangkan, Kudnat berasal dari boso walikan khas Malang yang berarti Tanduk.

Tanduk menjadi simbol kekuatan sang pemimpin layaknya banteng yang ditakuti para hewan lain karena tanduknya sehingga tanduk diibaratkan pengaruh pemimpin kepada warganya.

Semakin besar pengaruh sang pemimpin semakin dia memiliki tanduk.

“Kami gambarkan sang Kades ini gila pengaruh dan kekuasaan, hingga cara-cara seperti fitnah pun dilakukan,” ujar pria yang merupakan mahasiswa Sastra Inggris UM itu.

Berbagai komentar dilayangkan penonton. Salah satunya diutarakan Septian Adi.

Menurutnya, isu yang diambil menggambarkan masyarakat akhir-akhir ini yang riuh menanggapi agenda pilkades yang hendak dilakukan.

“Setidaknya pementasan ini bisa menjadi refleksi sekaligus kritikan,” ujar Adi.

Pria yang kini berprofesi sebagai guru itu mengaku pementasan ini cukup memberikan nilai edukasi, terlebih mengasah daya kritik para pelajar.

Melihat para penontonnya yang kebanyakan adalah mahasiswa dan pelajar di Kota Malang, Adi cukup optimistis bisa diterima dengan baik dan akan menjadi pembelajaran mereka ketika dewasa ketika terjun di masyarakat kelak.

“Banyak unsur edukasi dalam pementasan ini, sehingga cocok untuk ditonton semua kalangan,” tegas mahasiswa Pascasarjana Pendidikan Bahasa Indonesia itu.

Moh Fikri Zulfikar: Mahasiswa Pendidikan Bahasa Indonesia Pascasarjana Universitas Negeri Malang//fikrizulfikar982@gmail.com

Sumber dari: https://surabaya.tribunnews.com/2019/10/18/kisah-kudnat-oleh-teater-hampa-indonesia?page=all

Leave a Reply

Your email address will not be published.