Ke Puncak Bedug Asu Tetan

Ke Puncak Bedug Asu Tetan, Surya 28 April 2017

Ke Puncak Bedug Asu Tetan, Surya 28 April 2017

Ke Puncak Bedug Asu Tetan, Surya 28 April 2017

Ke Puncak Bedug Asu Tetan, Surya 28 April 2017

Ke Puncak Bedug Asu Tetan, Surya 28 April 2017

Ke Puncak Bedug Asu Tetan, Surya 28 April 2017

Surya 28 April 2017 (1)

Surya 28 April 2017 (2)

Surya 28 April 2017 (3)

MALANG mempunyai destinasi wisata yang mellmpah ruah. Mulai dari jajaran alam hingga tongkrongan hits. Saya yang hanya tahu dua pantai di Malang mencoba mencari pengalaman dan menuntaskan rasa penasaran dengan mengikuti dua sahabat saya mendakl. Bukan gunung yang kami daki, melainkan bukit  di lereng Gunung Arjuno. Kamis (20/4) bertlga kami berangkat ke Budug ASu. DestinaSi wisata yang sedang hits di Malang.

Di antara kami bertiga, hanya saya yang perempuan dan belum pernah ke sana. Kami memutuskan camping semalam. Perjalanan di mulai dari Dusun Biru Asri RT 10/3. Kami berangkat pukul 15:30 WIB. Dua teman saya berkata jika biasanya mereka ke Budug Asu
membutuhkan waktu tiga jam dengan berjalan kaki. Itu berarti kami akan sampai pada pukul 18.30 WIB.

Ada tiga jalur jika hendak ke Budug Asu, yaitu lewat kebonteh Wonosari, BBIB, dan Sumberawan. Kami lewat Jalur Sumberawan. Di sana
kami menitipkan motor disalah satu rumah warga.  Awal  perjalanan, saya sangat antusias sekali. Dalani benak saya, betapa indahnya nanti ketika sampai puncak. Kami berjalan melewati hutan dan perkebunan sayur hingga lading tebu milik~warga. Kami berjalan memanjang, Maula memimpin jalan, saya dl tengah, dan Zen menjaga belakang.

Hingga pada seperempat jalan, kaki saya mulai lemas. Saya berseru pada kedua sahabat saya, Maula dan Zen bahwa saya lelah, ingin berhenti sejenak. Sontak mereka tertawa sembari sedikit mengejek saya. Kami berhenti sekitar lima menit lalu melanjutkan
peijalanan.

Hingga satu jam pertama entah berapa kail tarikan napas berat dan hampir sebotol air mineral 600ml saya teguk. Hingga pada
suatu tikungan yang lumayan curam, Maula meminta saya untuk melepas ransel. Dia membawakan ransel saya. Rasanya seperti pengumuman sidang skripsi mendengar tawaran Itu. Botol di tas Zen pun saya raih.

Estimasl mereka meleset. Masih separuh Jalan, adzan maghrib berkumandang. Kami bahkan masih separuh jalan ketika gelap
menyergap. Alasannya satu, saya kelelahan dan bolak-balik meminta berhenti. Pukul 18.30 WIB kami masih Jauh dari tujuan.

Kami mengandalkan senter sebagai penerang jalan dan musik dari handphone sebagai teman menyanyi sepanjang jalan. Hingga Maula mengingatkan saya dan Zen untuk lebih mendekat. la seperti mengingatkan Zen akan suatu hal yang saya belum paham. Teror ala Budug Asu Ada setitik cahaya terang di tengah Jalan yang mirip seperti kunang-kunang. Tanpa berpiikir panjang, saya berseru “will kunang-kunang.” Tanpa saya duga, Maula dan Zen serentak menghentikan saya dengan Isyarat.

Lalu suara itu terdengar tak seperti kunang-kunang. Suara anjing menggonggong yang begitu dekat saya rasakan. Entah berapa jumlah anjing itu, tapl lebih dari : tiga saya rasa. Semuanya berwarna hitam dan hanya terlihat matanya saja. Maula melangkah mundur dan Zen maju. Keduanya mengapit saya sembari masing-maslng memegang tangan. Sekarang saya paham’arti Isyarat

Maula ke Zen. Mereka menglngatkan saya untuk diam, tenang, dan jangan lari. Meski rasanya jantung berdebar kencang namun kami bisa melewati sekelompok anjing itu.

Hingga akhirnya saya teijatuh. Kaki saya sudah kaku. Maula dan Zen mendekati saya sambil menawarkan air dan memijat kaki.

Kami melanjutkan peijalanan setelah cukup lama berhenti. Tiga kali saya teijatuh dan sengaja berbaring di tanah; Sahabat saya hanya tersenyum dan memberi saya semangat kalau sebentar lagi kami akan sampai.

Namun ya, saya teijatuh untuk keempat kalinya. Kali ini. benar-benar menyerah. Beruntung ada sebuah gubug dl dekat tempat saya teijatuh. Lalu Maula dan Zen memutuskan untuk bermalam di sana dan mendlrlkan tenda. Waktu itu sekitar pukul 19.30 WIB. Rasanya kaki saya mau copot.

Mereka menyalakan apt unggun, nesting, membuat mi, secangkir cokelat hangat. Sedangkan saya, berbaring di dalam tenda sambil
menahan kram dan menggigil ke-dinginan. Mereka membawakan saya mi mstan dan cokelat hangat, setelah itu saya tertldur. Entah
berapa lama saya tertidur, namun tengah malam ketika saya terbangun, kaki saya sudab berkaus kaki, tubuh saya berselimut sarung dan tumpukan baju.

Keesokan harinya, saya membuka mata ketika sinar matahari mulai menembus tenda dan suara para pelancong yang hendak ke Budug

Asu mulal ramal terdengar. Saya bangun karena lapar. Zen bertugas mencari air, Maula memasak. dan saya lagi-lagi hanya diam. Mereka
memasak nasi, ayam, Me goreng, mi goreng, dan air lemon. Sarapan di lereng bukit dengan pemandangan fajar mulai menyingsing,
sungguh luar biasa indah.

Kami turun sekitar pukul 13.10 WIB melewati rate yang sama. Ransel saya tetap pada pundak Maula. Zen membuatkan saya tongkat kayu untuk memudahkan langkah saya. Kami berjalan hingga melewati base camp sekelompok anjing yang semalam kami lewati.

Alhamdulillah, kali ini kami tak bertemu mereka. Hingga pada pertengahan ladang tebu yang begitu luas, hujan deras mulai turun. Kami memakai mantel dan terus beijalan di tengah kepungan hujan.

Saat kami sampai di ramah warga tempat kami menitipkan motor, jam dinding di ramah itu menun Jukkan pukul 16.10 WIB. Setelah pamit, kami langsung pulang ke Bira. Hal pertama yang saya lakukan setelah sampal ramah adalah mandi dan tldur pulas.

Dari peijalanan ke Budug Asu itu, saya masih belum tahu puncaknya. Saya belum menginjakkan kaki di Budug Asu. Dan saya, me-
nyesal. Namun ada beberapa hal yang menjadi pelajaran pen ting.

Satu, jangan pernah menyerah untuk meralh sesuatu meski jalan yang dilalui tak mudah. Bahkan jika harus berhenti, berhentilah sejenak tapi teraskan langkahmu.

Dua, saya merasa bersyukur sekali memliki sahabat seperti Maula dan Zen yang rela memperlambat langkah, kedinginan, dan rela saya srimpeti meski rasa lelah mereka dua kali dari rasa lelah saya.

Ketiga, bukan tentang tempat yang klta tuju tapi bersama siapa kita menujunya. Bukan hanya seberapa jauh kita melangkah, tapi bersama siapa klta beijalan. Tentang ia yang menggenggam tanpa pernah melepaskan.

Hal terakhir yang ingin saya sampaikan kepada teman-teman yang suka jelajah alam adalah, bawa kembali sampah yang kalian bawa. Alam bukanlah tempat sampah. la haras kita jaga sepertl kita menjaga keberslhan ramah klta.(http://surdbaya. tribunnews.
com/2017/04/27/mendaki-ke-puncak-budug-asu-duh-ternya-ta)

Leave a Reply

Your email address will not be published.