Dosen UM Angkat Estetika Seni Pertunjukan Perspektif Tiga Negara

Makang, SERU.co.id – Masih sedikit ditemukan buku seni pertunjukan yang beredar di pasaran. Berawal dari kepedulian terhadap literasi sejarah dan corak perbedaan masing-masing daerah membuat sebuah buku seni pertunjukan prespektif tiga negara.

Salah satu penulis buku ‘Estetika Seni Pertunjukan Timur Perspektif Ramayana Indonesia-Malaysia-Thailand’, Robby Hidajat mengatakan, kisah Ramayana mampu mengikat perbedaan suku-suku yang ada diberbagai daerah menjadi satu.

“Dianggap Ramayana itu menyatukan bagian-bagian, mulai dari Thailand-Malaysia sampai Jawa ini menjadi pengikat kesukuan didalam Ramayana,” seru Robby Hidajat.

Di Indonesia, cerita Ramayana tersebar diberbagai daerah dari Cirebon, Jogja, Solo, hingga Jawa Timur. Di Jawa Timur termasuk  paling kaya cerita-cerita Ramayana, hingga tersebar di Malaysia dan Thailand.

“Di Thailand yang ditonjolkan adalah Anoman, kemudian Malaysia yang ditonjolkan Lesmana, karena dianggap ada korelasinya dengan nama Laksamana,” bebernya, kepada SERU.co.id.

Pihaknya menuturkan, kendala penyusunan buku tersebut terletak pada aspek teknis. Sebenarnya masyarakat tahu, mengerti dan bisa cerita. Namun kalau ditanya soal runtutan sejarah, tidak bisa menjelaskan, hanya katanya dari nenek ke nenek moyang sebelumnya.

“Buku-buku Ramayana termasuk tidak ada buku besar (induk/babon) yang dirujuk. Itu saya anggap sebenarnya adalah peluang, siapa yang terus mendalami itu jadi bagian yang terus membesar,” terang Robby, sapaan akrabnya.

Dosen pengampu Pascasarjana Prodi Seni Rupa tersebut menambahkan, dalam penyusunan buku tersebut dirinya bersama empat orang. Salah satunya merupakan peneliti asing dari Thailand, yang menempuh gelar doktornya di Institus Seni (ISI) Yogyakarta.

“Dr Surasak dari Universitas Srinakharinwirot Bangkok Thailand, Dr Pujiyanto MSn dan Hartono MSn,” ungkapnya.

Menurut Robby, sastra lakon Ramayana yang tersebar di Asia Tenggara memberikan warna tersendiri bagi negara-negara atau masyarakat etnik, utamanya Indonesia, Malaysia, dan Thailand. Tidak hanya sastra lakon Ramayana yang asli dari India, namun juga pergumulan emosional etnik, spiritual simbolik, dan etnisitas lokal.

Semuanya mampu menumbuhkan spirit dalam membangun ciri lokal. Demikian juga aspek transformasi dalam bentuk seni yang beragam. Seni rupa lukis, relief candi, dan patung-patung, serta dalam bentuk seni pertunjukan yang diadaptasi secara berkelanjutan oleh masyarakat pedalaman, muara, atau pesisiran.

“Ciri-ciri lokal itu mampu membangun cita rasa yang khas di setiap wilayah persebaran,” ungkapnya.

Lebih lanjut, menurut Robby, pemahaman estetik yang diyakini masyarakat di Asia Tenggara, yaitu melalui sampel kasus Indonesia, Malaysia, dan Thailand. Yang memiliki perbedaan mendasar sebagai ekspresi visual dan kinetik.

Fungsi sebagai bentuk karya seni dalam kehidupan masyarakat. Pada sepanjang perjalanan kesejarahan telah terjadi persinggungan dengan berbagai aspek sosial, budaya, dan spiritual. Sehingga bentuk cita rasa keindahan yang terekspresikan dalam kehidupan terus berkembang.

Masyarakat di tiga negara tersebut telah menyikapi estetika sebagai bentuk yang bersifat fungsional. Lakon Ramayana yang hadir sebagai seni disikapi sebagai bentuk tuntuan dan sekaligus tontonan. Namun di dalamnya memberikan dasar yang kuat sebagai pembentuk moralitas masyarakat yang menyadari akar kesejarahan.

“Ada rasa dan ada kebatinan yang kuat terhadap nilai-nilai keluhuran yang dianggap baik dan selalu menghindari hal-hal yang dipandang sebagai keburukan. Aspek dualitas ini menjadi sesuatu yang bersifat komplementer, paduan dua aspek yang saling memberikan penguatan dalam mengekspresikan kehidupan sosial,” tandasnya. (ws1/rhd)

Sumber|https://seru.co.id/dosen-um-angkat-estetika-seni-pertunjukan-perspektif-tiga-negara/