Mahasiswa Kuliah Hanya untuk Dapat Kerja

Mahasiswa Kuliah Hanya untuk Dapat Kerja, Surya 14 Agustus 2017

Mahasiswa Kuliah Hanya untuk Dapat Kerja, Surya 14 Agustus 2017

Download Surya 14 Agustus 2017

Saat ini sudah semakin sedikit mahasiswa yang mencintai keilmuan yang mereka dalami pada bangku kuliah Sebagian besar dari mereka semata-mata hanya Jokus kuliah agar bisa mencari pekeijaan.

HAL itu disampaikan pendeta dan anggota komunitas Gusdurian Malang. Kristianto Budi, dal am kajian Karakter Manusia Indonesia di Pusat Pengkajian Pancasila Universitas Negerl Malang (UM), Minggu (13/8). “Saat ini sarjana sastra belum tentu suka baca buku, sarjana kedokteran hewan belum tentu cinta hewan. Mereka hanya mengejar gelar agar bisa diterima di pekerjaan yang mereka inginkan,” ujar Kristianto Budi.

Nilai kecintaan pada ilmu seolah menjadi tidak penting dan menghilangkan harga nilai-nilai yang seharusnya tertanam selama menempuh kuliah. “Nilai-nilal itu telah dikapitalisasi, dikomersialisasi, dimanipulasi. atau dipolitisasi, sehingga sudah tidak mampu menjadi akar kehidupan suatu komunitas,” jelas Kristianto.

Padahal, inti dari Pancasila adalah gotong royong. Seharusnya jika itu benar dilaksanakan dalam pengamalan Pancasila di kehidupan sehari-hari. misalnya untuk membangun spiritualitas, tidak akan ada perpecahan antar-agama.

“Gotong royong yang sudah berlangsung juga ada. misal di lingkungan RT atau RW ketika bersih-bersih. Saat itu nilai-nilai masih ada. antara lain nilal kebersamaan, nilai mencapai hasil lebih baik, nilai semangat, dan mengabarkan tindakan baik.” kata dia.

Pancasila juga bersumber pada nilai-nilai yang ada di tengah masyarakat. “Jika masih ada semangat untuk mengembalikan nilai-nilai itu, karakter akan mudah terbangun dengan sendirinya. Nilai-nilal personal dipadukan dengan nilai milik orang lain, sedangkan nilai-nilai komunitas diekspresikan bersama. Karakter masyarakat Indonesia pun akan terlihat,” tuturnya.

Scmentara guru besar Fakultas Sastra UM. Prof Dr Djoko Saiyono MPd, mengatakan Indonesia sebagai bangsa yang belum mantap. Ketika dunla sudah merambah revolusi industri keempat. Indonesia belum siap. Dalam ketidaksiapan itu. responsnya adalah tergesa-gesa.

“Hampir di semua permasalahan. Bahkan pada ukuran undang undang juga diubah-ubah. PP (Peraturan Pemerintah) belum di laksanakan. sudah diubah. Indonesia masih kebingungan.” ujar Djoko.

Begitu pula dalam hal pendidikan. Pendidikan anak Indonesia, menurut Djoko. sangat terburu-buru.“Anak-anak bersekolah dan kuliah diluntut untuk menguasai kompetensi. Tinggalkan kompetensi, yang dibutuhkan Indonesia adalah kapabilitas. Ini lebih manusiawi.” tuturnya.

la melanjutkan, mengejar kompetensi akan mencetak lulusan robot pencari kerja, sedangkan kapabilitas akan menciptakan generasi muda
pencipta keija. Apalagi, saat ini anak muda berada di samudra informasi bernamainternet. “Sementara mereka tidak diajari mentalitas
pantang menyerah denganpendidikan karakter. atau kemampuan membuka mata dan pikiran terhadap semua informasi baru lewat
pendidikan literasi. Tuntutannya hanya kompetensi saja.” ujar Djoko.

la mencontohkan, orangtuadi Indonesa sangat bangga anaknya mengikuti kelas akselerasi. Tidak peduli jika anaknya dipaksa lari cepat
hingga terjungkal karena kesulitan mengejar kompetensi yang harus dicapai.

“Kelas akselerasi di sini menjadi gaya dan suatu kebanggaan. Padahal di Finlandia, yang disebut-sebut sebagai negara dengan pendidikan terbaik, mereka berjalan pelan-pelan. Pendidikannya alon-alon asal kelakon. Justru ini yang baik.” ungkapnya.

Orangtua. lanjutnya, hars pintar hidup di dalam jaman yang sangat berbeda jauh dengan jaman ketika mereka muda dulu. Orang tua yang
kemudian kebingungan dalam hal mengurus anak pun banyak. Akhirnya memanjakan dan melindungi anaknya secara berlebihan. (neneng oswatun hasanah)

 

Leave a Reply

Your email address will not be published.