TUNJANGAN GURU BESAR DICABUT

TUNJANGAN  GURU BESAR  DICABUT , Jawa Pos Radar Malang 26 Februari 2017

TUNJANGAN GURU BESAR DICABUT , Jawa Pos Radar Malang 26 Februari 2017

TUNJANGAN  GURU BESAR  DICABUT , Jawa Pos Radar Malang 26 Februari 2017

TUNJANGAN GURU BESAR DICABUT , Jawa Pos Radar Malang 26 Februari 2017

TUNJANGAN  GURU BESAR  DICABUT , Jawa Pos Radar Malang 26 Februari 2017

TUNJANGAN GURU BESAR DICABUT , Jawa Pos Radar Malang 26 Februari 2017

Jawa Pos Radar Malang 26 Februari 2017 (1)

Jawa Pos Radar Malang 26 Februari 2017 (2)

Jawa Pos Radar Malang 26 Februari 2017 (3)

 

Ancaman Kemenristekdikti jika Sampai November 2017 Tak Produktif Tulis Jurnal

MALANG KOTA – Para guru besar atau profesor di perguruan tinggi negeri (PTN) maupun perguruan tinggi swasta (PTS), tak bisa berleha-leha lagi. Itu bila tidak ingin tunjaugan kehonnatan sebesar dua kaligaji pokoknya dicabut Sebab, Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Kemenristekdikti) melalui Peraturan Menristekdikti Nomor 20 Tahun 2017 telah mengancam, jika sampai bulan November 2017, para guru besar tidak produktif membuat karya ilmiah seperti vang disyaratkan, maka otomatis tidak berhakmenerima tunjangan lagi {Persyaratan lengkap lihatdi grafts).

Direktur Jenderal Sumber Daya Ilmu Pengetahuan, Mukti MSc PhD menegaskan, kelnjakan tersebut untuk meningkatkan publikasi ilmiah para guru besar

Guru Besar Keberatan Pencabutan Tunjangan

TUNJANGAN…

Sambungan

Sebab, target Kemenristekdikti sejak 2015 hingga 2017 ini, guru besar di Indonesia bisa menelurkan 15 ribu hingga 16 ribu jurnal internasional terpublikasi. Baik itu jurnal nasional maupun internasional. Namun kenyataannya, hingga Februari ini, terdata baru 8 ribu jurnal saja. Masih kurang sekitar 8 ribu jurnal lagi.

Karena itu, Kemenristekdikti men-deadline hingga November 2017, sudah haras ada tambahan 8 ribu jurnal lagi. Jika target tidak terpenuhi, maka guru besar yang tak produktif membuat jurnal, bakal kehllangan haknya berupa tunjangan kehormatan.

Untuk diketahui, tunjangan kehormatan guru besar sekitar Rp 9,5 juta per bulan. Nominal itu berasal dari dua kali gaji pokok. “Kami ingin menggali potensi profesor (guru besar) yang masih belum maksimal dengan peraturan ini,” jelas Ali Ghufron saat Seminar dan Lokakarya Nasional di Universitas Brawijaya (UB), Kamis lalu (23/2).

Ali Ghufron menambahkan, sesuai syarat mendapatkan tunjangan kehormatan, guru besar haras membuat minimal tiga jurnal internasional atau minimal satu karya ilmiah yang terbit di jurnal internasional bereputasi. Juga berkewajiban membuat temuan ilmiah yang diakui internasional. Kedua syarat ini tereatat sejak 2Ol5-2Ol7. “Itu
sebagaimana dalam Permenristekdikti Nomor 20 Tahun 2017,” tandasnya.

Lantas bagaimana sikap para akademisi di Kota Malang  Wakil Rektor I Universitas Brawijaya (UB) Prof Dr Ir Kusmartono menyampaikan, UB justra tertantang dengan kebijakan ini. Karena itu, UB membuat gebrakan untuk
semua dosennya. “Kami menargetkan program 1.000 artikel publikasi untuk seluruh dosen UB yang jumlahnya sekitar 1.800 orang,” tegas Kusmartono.

Dia mengakui, jurnal ilmiah dan penelitian selama ini memang agak lemah. Sebab, waktu para guru besar dan dosen lebih banyak untuk mengajar. Sementara aspek penelitiannya kira-kira hanya 20 persen saja.

Segendang sepenarian, Universitas Negeri Malang (UM) juga menyambut positif peraturan tersebut. Toh, kebijakan Kemenristekdikti itu ditujukan untuk meningkatkan produktivitas guru besar. “Namun yang disayangkan,
kenapa evaluasi dilakukan dari tahun 2015, tidak dari 2017,” ungkap Rektor UM Prof Dr H AH Rofi’uddin MPd saat dihubungi Jawa Pos Radar Malang, beberapa waktu lalu.

Karena itu, Rofi’uddin mengusulkan agar Kemenristekdikti mempertimbangkan penilaian jurnal ilmiah itu tidak mulai dari 2015 hingga 2017. Karena peraturan Kemenristekdikti saja baru keluar 2017.

Rektor UIN Maulana Malik Ibrahim Malang Prof Dr H Mudjia Rahardjo MSi juga sepakat dengan adanya evaluasi kinerja dosen, termasuk kualifikasi guru besar itu. Adanya kebijakan sertifikasi dosen itu, tujuannya untuk meningkatkan kualitas pendidikan tinggi. “Selama ini yang terjadi ada tunjangan sertifikasi dosen, tapi tidak meningkatkan jumlah publikasi ilmiah dosen,” ungkap Mudjia, beberapa waktu lalu.

Saat ditanya bagaimana publikasi ilmiah dosen UIN Malang, Mudjia mengungkap masihjauh dari yang diharapkan. Dosen di kampus masih terjebak dengan Tri Dharma Perguruan Tinggi saja, yaitu prioritas dalam mengajar. Sehingga mereka hanya terbebani untuk memenuhi standar beban kerja dosen.

“Proses peningkatan publikasi ilmiah terns kami dorong untuk dipublikasi. Jika tidak, maka tunjangan mereka akan dicabut sesuai Permehristekdikti itu,” terangnya.

Namun, Mudjia menilai, sanksi pencabutan tunjangan itu tidak tepat jika dilakukan langsung. Seharusnya, para guru besar mendapatkan peringatan-peringatan dulu sebelum ada pencabutan. “Saya tidak setuju jika tunjangan langsung dicabut tanpa diberi batas waktu untuk memperbaiki,” tukasnya.

Rektor Universitas Merdeka Malang (Unmer) Prof Dr Anwar Sanusi SE MSi mendukung adanya dorongan untuk meningkatkan publikasi ilmiah itu. Namun, dia menyayangkan sosialisasinya terlalu mendadak. Seharusnya evaluasi dimulai dari 2017-2019, bukan malah dari 2015-2017. “Supaya para dosen dan profesor dapat mempersiapkan diri,
apalagi untuk publikasi intemasional,” kritiknya.

Yang tidak dia setujui lagi soal pencabutan tunjangan. Sebab, tugas guru besar dan dosen tidak hanya memenuhi publikasi ilmiah saja. Tugas lainnya yaitu mengajar. “Kalau tunjangan profesinya dicabut karena tidak memenuhi
publikasi ilmiahnya, penghargaan terhadap tugas mengajar bagaimana?” keluhnya. Maka, sebaiknya tidak dicabut, tapi dikurangi tunjangan profesi dosen berapa person dari seharusnya yang diterima.

Pakar Pendidikan Universitas Negeri Malang (UM) Prof Dr Bambang Budi Wiyono MPd menilai positif untuk publikasi karya ilmiah profesor. Namun, dalam pelaksanaan Tri Dharma Perguruan Tinggi, tidak hanya dalam bidang penelitian saja Ada aspek pengajaran dan juga pengabdian.

Dia menyayangkan kebijakan pemerintah berlaku mundur. Kenapa tidak dimulai tahun 2017 ini saja. Menurutnya, menghasilkan satu karya ilmiah internasional bereputasi itu membutuhkan waktu paling cepat 10 bulan. “Dampak dari kebijakan ini, para profesor akan lebih fokus pada penelitian saja,” imbuhnya.

Dia sendiri sebagai profesor golongan IV/d itu juga tidak lepas dari kebijakan tersebut. Namun, dalam kurun waktu tiga tahun terakhir, dia sudah melakukan publikasi enam jurnal internasional. Dua di antaranya jurnal yang bereputasi seperti terindeks scopus. “Jadi, saya aman dengan kebijakan tersebut,” terang dia.

Namun, baginya, publikasi internasional masih belum cukup. Buku ajar atau referensi yang bisa dihadirkan langsung kepada para mahasiswa juga tidak kalah penting. “Pengajaran berjalan lancar dan publikasi ilmiah internasional juga berjalan sehingga bebas dari ancaman tersebut,” tukasnya. .(kis/c2/abm)

Leave a Reply

Your email address will not be published.