Tim Mahasiswa UM Rancang Aplikasi Bahasa Isyarat

Tim Mahasiswa UM Rancang Aplikasi Bahasa Isyarat

Sampai saat ini, bahasa isyarat atau sign language masih menjadi cara terbaik untuk berkomunikasi dengan para tunarungu. Tapi, tentu saja, tak semua orang menguasai bahasa isyarat. Berawal dari fakta itulah, sekumpulan mahasiswa UM merancang aplikasi bahasa isyarat.

Kampus Universitas Negeri Malang (UM) terlihat lengang, kemarin siang (16/7). Maklum, masa perkuliahan untuk semester gasal tahun ajaran 2018/2019 baru dimulai 20 Agustus mendatang.

Meski begitu, sejumlah mahasiswa masih terlihat lalu lalang di seputaran kampus. Termasuk lima mahasiswa ini: Rendy Yofiana, Tinesa Fara, Putri Karunia, Zhafry Zamzamiy, dan Suraji.

Suraji tercatat sebagai mahasiswa jurusan pendidikan luar biasa. Sementara empat lainnya merupakan mahasiswa jurusan pendidikan teknik informatika. Mereka adalah bagian dari tim pembuat aplikasi bahasa isyarat.

Aplikasi itu diberi nama Kasidi Mosen. Akronim dari Komunikasi dengan Anak Tunarungu dan Tunawicara Menggunakan Standar SIBI (Sistem Isyarat Bahasa Indonesia) dalam Kegiatan SCSD (Study Center and Service of Disability) Motion Sensor.

Cara kerja aplikasi Kasidi Mosen sejatinya sederhana. Aplikasi ini memanfaatkan kinerja kamera belakang smartphone. Gerakan tangan bahasa isyarat itu lantas diterjemahkan melalui sistem pada smartphone.

”Untuk sementara, kami menggunakan Sistem Isyarat Bahasa Indonesia (SIBI),” kata Tinesa Fara. Dia menyatakan, timnya belum memasukkan Bahasa Isyarat Indonesia (Bisindo) lantaran pemaknaan setiap gerakan berbeda-beda. ”Jadi kami memakai yang per alfabet (SIBI),” ujarnya.

Dia menjelaskan, itu lebih mudah karena pada SIBI semua dieja per huruf. Sedangkan pada Bisindo, satu gerakan bisa diterjemahkan menjadi satu kata. ”Untuk Bisindo, antara daerah Jawa Timur dan Jawa Tengah saja bisa berbeda. Itu kesulitannya,” imbuh mahasiswi angkatan 2016 itu.

Tapi untuk saat ini, penggunaan SIBI sudah dinilai cukup bagus. Lewat aplikasi Kasidi Mosen, pengguna tak hanya bisa mengenali bahasa isyarat yang disampaikan oleh kaum tunarungu. Pengguna yang bukan tunarungu pun juga bisa membalas bahasa isyarat itu. ”Ketik saja apa yang akan kita sampaikan. Nanti akan muncul animasi gerakan jari dan tangan di layar,” kata alumnus SMKN 1 Trenggalek tersebut.

Tinesa menyatakan, ide pembuatan aplikasi berawal dari keprihatinan dia dan rekan-rekannya ketika melihat kondisi mahasiswa tunarungu dan tunawicara saat di kampus. ”Ketika pendampingnya tidak ada, sulit untuk memahami bahasa mereka,” ujar dia.

Ketika ide sudah muncul, tim sempat menghadapi tantangan untuk melanjutkan rencana pembuatan aplikasi. ”Awalnya, ada tunarungu yang takut dijadikan objek penelitian,” kata dia. Tapi setelah diberi pengertian, penyandang tunarungu itu setuju untuk ikut ambil bagian dalam pengembangan aplikasi.

Aplikasi Kasidi Mosen dibuat sejak September 2017. Sampai saat ini, pengembangan terhadap aplikasi itu masih berjalan. Di awal pengembangan, Kasidi Mosen sempat diikutsertakan pada ajang Festival Mahasiswa Elektro (Fesmaro) UM. ”Pada saat itu, untuk masuk 50 besar saja kami tidak mampu,” imbuh mahasiswi kelahiran 27 April 1998 itu.

Bukannya larut dalam kekecewaan, tim pengembang aplikasi Kasidi Mosen malah mengajukan proposal ke Kemenristekdikti, Oktober 2017. ”Akhirnya baru pada bulan April lalu ada pengumuman bahwa tim kami lolos,” ujarnya.

Lolos seleksi Kemenristekdikti, tim Kasidi Mosen malah stres. ”Bukannya seneng tapi malah stres. Karena kami tidak punya basic itu (bahasa pemrograman untuk aplikasi),” ujarnya.

Dia menjelaskan bahwa pada jurusannya, pendidikan teknik informatika, tidak diajarkan menggunakan program Open CV (computer vision) atau pengolah citra. Padahal, itu adalah bahasa program utama yang digunakan pada aplikasi tersebut.

”Sebab, mata kuliah itu hanya diajarkan pada jurusan tekniknya, sedangkan kami di jurusan pendidikannya (Teknik Informatika),” imbuhnya. Alhasil, mereka harus belajar otodidak untuk menguasai Open CV. ”Ya mau bagaimana lagi, dana sudah masuk, jadi kita harus mengerjakan,” terang Tinesa.

Dia menjelaskan bahwa the power of kepepet membuat semua orang bisa menjalankan dan mewujudkan sesuatu. ”Kami sampai belajar teknik artificial intellegence (kecerdasan buatan),” ujarnya.

Sebab, untuk mendeteksi besar kecilnya tangan, artificial intellegence itu harus disematkan pada sistem aplikasi. ”Kami berharap, apa yang kami lakukan bisa membantu kaum tunarungu dalam berkomunikasi,” tandas dia.

Sumber dari: http://www.radarmalang.id/tim-mahasiswa-um-rancang-aplikasi-bahasa-isyarat/

Leave a Reply

Your email address will not be published.