Pernah Tak Pulang karen Latihan, Kini Koleksi 35 Medali

Jawa Pos Radar Malang 30 Desember 2016

Jawa Pos Radar Malang 30 Desember 2016

Jawa Pos Radar Malang 30 Desember 2016

Muhammad Sholehuddin, Pegiat Seni Al-Banjari Asal Singosari

Pernah Tak Pulang karen Latihan, Kini Koleksi 35 Medali

Seni Al-Banjari memang kalah jauh jika dibandingkan dengan musik-musik modern saat ini. Tak ingin kesenian Islami itu makin tenggelam, Muhammad Sholehuddin, guru MI yang juga staf dosen di Universitas Negeri Malang (UM) itu berupaya melestarikannya.

FAJRUS SHIDDIQ

SAAT pertama masuk kuliah di Jurusan Pendidikan Bahasa Arab UM, 2010 lalu, Muhammad Sholehuddin sering kena marah orang tuanya. Terutama ketika dia pulang malam. Saat itu, ayahnya, M. Affandi, dan sangibu, Choiriyah, sangat khawatir jika dia terpengaruh pergaulan bebas.
Apalagi kehidupan kota begitu kompleks, ditambah lagj jauh dari pantauan keluarga. “Saya dulu kan mondok (hicjup di pesantren). Jadi, orang tua kaget pas kuliah kok sering pulang larut malam,” kata pria asal Singosari, Kabupaten Malang itu, Kamis (29/12).
Bahkan, di awal gabung dengan grup Al-Banjari HMJ (himpunan mahasiswa jurusan) Bahasa Arab, dia sempat tidak pulang ke rumah karena latihan. Apa yang terjadi ? Orang tuanya langsung menyusul ke kampus. Kecintaannya pada musik yang menghasilkan. irama rancak dan menghentak itu makin menjadi kala teman-temannya menganggap dia anak rumahan. ’’Sebenarnya, saya tak sengaja suka musik ini, ucap pria kelahiran 4 Juli 1992 tersebut.
Ceritanya, sebelum diter11 na kuliah, dia melihat pertunjukan Al-Banjari di kampungnya. Saat itu, ada satu grup musik Al-Banjari yang terdiri dari 10 wanita asal Sidoarjo. Sholeh yang terpesona denganpara pemainnya pun kepincut musikitu. Di umumya yang masih 19 tahun, waktu itu, dia terns mendalami musik tersebut. Mulai dari menabuh hadrah, gendang, terbangan, hingga meracik variasi permainan. Maka, tak butuh waktu lama baginya untuk berkembang. “Sepi atau ramai markas HMJ, saya tetap ke sana untuk nabuh sendiri,” imbuh dia.
Awalnya, bersama dengan teman-teman HMJ-nya, Sholeh mengikuti perlombaan Al-Banjari di Singosari pada 2010. Sebagai pemain paling muda dan belum mumpuni, Sholeh mengaku bahwa dia hanya menjadi lucu-lucuan di grup ini.
Baru ketika terpilih menjadi pemimpin grup Al-Banjari di kampusnya pada 2010 juga, dia terus mencari relasi. Meski grupnya masih terbilang ecek-ecek waktu itu, Sholeh memberanikan diri tampil bersama kawan-kawannya. “Saya nggak mau tahu. Pokoknya musik Al-Banjari barns eksis,” tegas staf dosen Bahasa Arab UM ini.
Di tahun itu pula, dia bergabung dengan grup Al-Banjari Nailus Syafaah (NS). Pada 2012, dia mengikuti event tingkat regional dan menduduki peringkat 12. Kalau dihitung, hinggaakhir 2016 ini, magister Bahasa Arab UM itu merangkum ada 35 penghargaan sejak pertama kali bermain Al-Banjari.
Guru Madrasah Ibtidaiyah (MI) Al-Maarif 07, Tunjungtirto, Singosari, itu pun merancang kegjatan langgar Al-Banjari. Setiap seminggu sekali, bersama remaja di kampungnya, Sholeh melatih anak-anak di kawasan tersebut. Dia juga mengajar Al-Banjari di MTsN Kota Batu. “Saya ingin Al-Banjari tetap dilestarikan,” kata peraih aransemen terbaik Festival Banjari (Fesban) Nongkojajar 2016 itu.
Bicara prestasi, bersama grupnya, tahun ini Sholeh menorehkan lima prestasi. Di antaranya, Musik Terbaik Fesban UNIPDU Jombang dan Aransemen Terbaik Fesban Nongkojajar. (*/c3/nen)

KONSISTEN: Sejak bergabung dengan Al-Banjari 2010 lalu, hingga kini Muhammad Sholehuddin tetap berkecimpung dengan musik Islami tersebut.

Leave a Reply

Your email address will not be published.