Perjuangkan Kesetaraan Gender

Direktur Hubungan Internasional UM, Evi Eliyanah, S.S., M.A., Ph.D

MALANG, NewMalangPos – Sosok Kartini sebagai pejuang kesetaraan gender, juga melekat pada seorang dosen Universitas Negeri Malang (UM), Evi Eliyanah, S.S., M.A., Ph.D yang saat ini menjabat sebagai Direktur Hubungan Internasional Universitas Negeri Malang. Menurutnya, masih ada beberapa permasalahan di tengah masyarakat yang seringkali dirasakan oleh perempuan akibat budaya atau kebiasaan yang dianggap lazim.

Direktur Hubungan Internasional Universitas Negeri Malang Evi Eliyanah, S.S., M.A., Ph.D ingin terlibat secara aktif dalam penyusunan kebijakan publik, khususnya terkait pendidikan dan gender. (NMP-MANSYUR ADNAN SYURURI)

Ia mencontohkan, seorang perempuan yang sedang meniti karirnya tidak boleh meninggalkan beban kewajiban mengurus anak dan rumah tangga. Terlebih selama pandemi, seorang perempuan atau ibu terpaksa harus melakukan semuanya di rumah. Tak hanya untuk karirnya, namun juga untuk anak dan suaminya. Hal tersebut sebenarnya bisa dilakukan dengan berbagi peran yang baik antara laki laki dan perempuan.

“Jumlah profesor di Indonesia itu lebih banyak laki-laki dibandingkan perempuan. Berarti ada sesuatu yang perlu kita adjust. Sehingga perempuan memiliki kesempatan yang sama. Mungkin bukan tidak boleh, tapi karena perempuan ini secara kultural diharuskan menanggung beban ganda, sementara laki-laki tidak. Itu yang membuat mereka less productive, tidak seproduktif teman laki-laki,” terang Evi kepada New Malang Pos di ruang kerjanya.

Menurut Evi, berbagi peran harus dengan komunikasi yang baik antara laki-laki dan perempuan. Artinya laki-laki juga bisa mengambil peran untuk pengasuhan anak dan mengurus rumah tangga sesuai dengan kesepakatan. Oleh karena itu, sebenarnya kaum pria juga berhak mendapatkan cuti layaknya ketika perempuan mendapatkan cuti melahirkan.

“Jadi harus ada redistribusi yang seperti apa? Mungkin harus ada yang namanya cuti untuk bapak, tidak hanya cuti melahirkan untuk ibu. Sehingga laki-laki juga berperan dalam pengasuhan. Kita terus mengadvokasikan bahwa tugas rumah tangga dan pengasuhan itu bukan suatu yang natural alami yang harus dilakukan oleh perempuan. Ini tren global sih, tidak hanya di Indonesia saja,” terangnya.

Dengan demikian, Evi pun lantas menyebut, perempuan juga memiliki kesempatan yang sama untuk menjadi seorang pemimpin. Apalagi sebenarnya perempuan punya modal berharga untuk menjadi pemimpin, yakni rasa kasih sayang yang tinggi.

“Kenapa tidak. Untuk menjadi pemimpin itu adalah skill, keterampilan. Kita butuh pengetahuan dan keterampilan selain itu kita butuh compassion, kita butuh kasih sayang ketika menjadi pemimpin. Kalau kita menjadi pemimpin tanpa rasa kasih sayang, kita akan menjadi pemimpin yang tidak pernah memikirkan kesejahteraan bawahannya,” tegasnya.

Perjuangan Evi dalam permasalahan gender sebenarnya telah ia lakoni sejak lama. Bahkan karya disertasi untuk program doktoral S3 di The Australian National University juga mengangkat tentang isu tersebut. Belakangan, Evi dipercaya menjadi anggota sebuah organisasi bergengsi ilmuwan muda di Indonesia yakni ALMI (Akademi Ilmuwan Muda Indonesia) dibawah AIPI (Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia).

Disitulah Evi juga akan terus memperjuangkan misinya. Terlebih di ALMI kesempatannya cukup besar untuk ikut berpartisipasi dalam memberi masukan kepada pemerintah ketika mengeluarkan kebijakan publik.

“Saya ingin terlibat secara aktif dalam penyusunan kebijakan public, khususnya terkait pendidikan dan gender. Yang sedang saya dorong di ALMI bersama teman-teman adalah kebijakan terkait redistribusi. Maksudnya redistribusi kerjaan agar lebih memperhatikan gender dan social inclusion,” sebutnya.

Tentu perjuangannya tidak mudah. Banyak hal yang harus dihadapi dan dijalaninya. Ia menyebutnya sebagai tantangan.

“Tantangan jelas karena kita berhadapan dengan birokrasi level nasional. Tidak mudah untuk memberikan input dan langsung diadopsi oleh pembuat kebijakan di level nasional. Ini jalan yang sangat panjang, kita tahu ini bukan saya yang pertama kali mengadvokasi seperti ini. Sudah ada yang jauh lebih senior dan sudah bertahun-tahun mengadvokasikan hal ini tapi kita harus apresiasi sekecil apapun achievment kita, keberhasilan kita,” pungkasnya. (ian/aim)

Sumber| https://newmalangpos.id/perjuangkan-kesetaraan-gender