Jadi Negosiator 180 Negara, Aktif Tangani Kemiskinan di Asia-Afrika

Download Jawa Pos Radar Malang 22 Maret 2018

Usianya baru 20 tahun.Tapi, Akbar Rahmada Maulana sudah dipercaya mewakili Asia di PBB. Menjadi negosiator 180 negara, banyak permasalahan negara yang sudah dia tuntaskan. Bagaimana kisahnya?

SANDRA DESICAESARIA

SUARANYA terdengar merdu. Nyaris seperti penyiar radio. Itulah kesan saat Jawa Pos Radar Malang berkomunikasi dengan Akbar Rahmada Maulana Mahasiswa Unlversitas Negeri Malang (UM) itu ditunjuk Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk mengatasi permasalahan di berbagai negara. “Ada sepuluh orang di Asia (yang tergabung di tim PBB). Termasuk saya,” ujar Akbar kemarin (21/3).

Mahasiswa jurusan bahasa Inggris itu tidak menyangka dipercaya lembaga intemasional. Mulanya, dia iseng-iseng mengikuti United Nation Habitat III Conference di Surabaya Februari lalu. Temyata Akbar malah mendapatkan tawaran bergabung di United Nation Major Group for Children and Youth, lembaga di bawah naungan PBB yang
khusus berisi anak muda. Di Indonesia, hanya Akbar yang terpilih. Padahal, ada ratusan mahasiswa yang ingin bergabung. “Saya kira delegasi Indonesia. Temyata saya juga ditunjuk menjadi representative of Asian oleh PBB,” tutur pria berusia 20 tahun itu.

Jadi Negosiator 180 Negara, Aktif  Tangani Kemiskinan di Asia-Afrika , Jawa Pos Radar Malang 22 Maret 2018

Jadi Negosiator 180 Negara, Aktif Tangani Kemiskinan di Asia-Afrika , Jawa Pos Radar Malang 22 Maret 2018

Selain Akbar, personel lain yang mewakili Asia berasal dari Filipina, Jepang, dan India. Setiap benua terdiri dari sepuluh personel. Demikian juga wakil dari Amerika, Eropa, Australia, dan Afrika. Tugas Akbar dan delegasi benua lain adalah menjadi negosiator andal untuk 180 negara di bawah naungan PBB. “Ada setidaknya tiga program yang
ditawarkan. Pertama formal negosiasi, informal negosiasi, dan social media influence” kata pria asal Kediri itu.

Setiap personel yang ditunjuk membuat grup diskusi bersama dan harus membedah satu proposal yang memuat masalah penting antarnegara. “Kami dituntut me-review kata-kata yang ada dalam proposal dan juga melihat bahasa yang dipakai orang selama menjadi negor siator,” katanya.

Misalnya, masalah tidak boleh disebut ’’problem’; tapi harus disebut issue. Sebab, penyebutan itu berdampak terhadap proses penyelesaiannya. Hasilnya, Akbar bersama teman-temannya berhasil memecahkan masalah. Di
antaranya, berperan aktif dalam penanggulangan kemiskinan di Asia dan Afrika.

“Ada satu kasus di Cimsa (Center for Indonesian Medical Students’ Activities) yang harus diselesaikan. Tapi, ini sifatnya tertutup,” kata Akbar yang tidak menyebutkan secara detail kasus apa yang dia maksudkan. Pemecahan kasus itu menentukan perjalanan Akbar dan teman-temannya sebelum dikirim langsung ke kantor pusat PBB di New York.

Kind, Akbar dan timnya masih di Malaysia. Dia bertugas membuat aturan intemasional yang akan diratifikasi (disahkan) di Quito (ibu kota rfegara Ekuador). ’’Sebenarnya, tugas saya dan kawan-kawan selama di Malaysia tidak hanya membuat aturan. Tapi, juga mengawasi jalannya peraturan di 180 negara yang setuju dengan konsep Susainable Development Goals (SDG atau program pemba-ngunan berkelanjutan antar negara),’’ ujar anak kedua dari dua bersaudara ini.

Akbar menjelaskan, momen menegangkan dan menarik ketika proses ratifikasi SDG.

“Pada Traccom pertama dan kedua, negosiasi ini deadlock, artinya masih buntu. Lalu diadakan lagi dan jalannya
ratifikasi SDG-ini sangat seru,” tambah Akbar.

Pria yang juga berprestasi di bidang debat dan gemar menulis jurnal ini menceritakan penga-lamannya di Quito. Dia menegaskan, Amerika dan Inggris sempat menolak untuk menandatangani aturan SDG. Alasannya sepele. Yakni, aturan yang diusulkan itu diinisiasi delegasi dari Asia dan Afrika. “Sering kali ketika ada momen ratifikasi, ada pihak-pihak yang membawa unsur politis. Misalnya Amerika dan Inggris beranggapan bahwa SDG ini sumber cari duitnya negara berkembang,” jelasnya.

Tugasnya tidak berhenti sampai kasus SDG saja. Dia dan teman-teman antarnegara itu masih berkontribusi secara internasional hingga pemilihan berikutnya.

“Pemillhannya lima tahun sekali”.

Untuk 2018 itu yang pertama dan kami berkesempatan bisa bekerja secara profesional,” tutupnya. (*/c2/dan)

Leave a Reply

Your email address will not be published.