Hipertensi, Silent Killer Yang Harus Diwaspadai

 26 Februari 2023

MALANG, TABLOIDJAWATIMUR.COM – Beberapa pasien yang berobat di poliklinik ternyata mengalami hipertensi tanpa ada keluhan. Akibatnya, mereka tidak mengetahui jika dirinya mengalami hipertensi.

MENURUT dr. Ifa Mufida, Dokter Poliklinik Universitas Negeri Malang (UM) Jawa Timur, hal ini menjadi bom waktu hingga seseorang mendapati dirinya telah mengalami komplikasi (penyakit penyulit) yang diakibatkan tekanan darahnya yang tidak terkontrol. “Hal inilah yang menjadikan hipertensi menjadi salah satu penyakit yang masuk kategori “silent killer”,” kata dr. Ifa Mufida, Jumat (24/02/2023) siang.

Di sisi lain, tak sedikit pasien hipertensi yang menganggap bahwa pusing dan nyeri kepala sebagai tanda jika tekanan darahnya sedang tinggi. Akibatnya, jika mereka tidak merasakan nyeri kepala, mereka berfikir jika tensinya sedang normal. Hal ini menjadikan mereka berinisiatif sendiri menghentikan pengobatan hipertensinya. Bahkan mereka enggan kontrol ke poliklinik karena menganggap tekanan darahnya normal.

Ifa Mufida menjelaskan, persepsi-persepsi tersebut tidak benar. Karena pemeriksaan hipertensi harus dilakukan secara objektif, dengan pengukuran secara rutin menggunakan tensimeter. “Hipertensi mempunyai makna secara bahasa adalah tekanan darah tinggi. Berdasar definisi, hipertensi adalah suatu keadaan dimana tekanan darah sistolik lebih atau sama dengan 140 mmHg dan atau tekanan darah diastolik lebih atau sama dengan 90 mmHg,” terangnya.

Banyak  pasien dalam kondisi hipertensi urgensi,  yakni tekanan darah  180/120 mmHg atau lebih, namun tidak merasakan pusing atau keluhan  lainnya. “Hal ini sangat mengkhawatirkan. Karena,  jika tidak ada upaya untuk menurunkan tekanan darah, akan mengakibatkan kerusakan organ lebih lanjut. Juga memicu kondisi kegawatdaruratan, seperti serangan jantung koroner, stroke perdarahan, gagal ginjal akut, eklampsia pada ibu hamil, dan sebagainya.  Kondisi ini disebut hipertensi emergensi,” tegasnya.

Perlu diketahui, hipertensi terbagi menjadi dua jenis, yakni hipertensi primer dan hipertensi sekunder. Sebagian besar hipertensi, yakni sekitar 90% yang dialami pasien, adalah jenis hipertansi primer. Jenis hipertensi primer ini merupakan hipertensi yang tidak diketahui penyebab pastinya, berlangsung selama bertahun-tahun,  dan cenderung berkembang secara bertahap. Faktor genetik dan gaya hidup diduga memiliki peran penting.

Sedangkan hipertensi sekunder, merupakan jenis hipertensi yang diketahui penyebabnya. Biasanya karena kondisi kesehatan yang mendasarinya. Seperti penyakit ginjal, tumor kelenjar adrenal, penyakit tiroid, cacat bawaan di pembuluh darah, dan mengkonsumsi obat-obatan seperti amfetamin dan kokain. Hipertensi sekunder cenderung muncul tiba-tiba dan menyebabkan tekanan darah yang lebih tinggi daripada hipertensi primer.

Dia menjelaskan, kemungkinan seseorang mengidap hipertensi akan semakin meningkat seiring dengan bertambahnya usia, terlebih usia di atas 65 tahun. Faktor resiko hipertensi lainnya antara lain kelebihan berat badan (obesitas), adanya riwayat hipertensi dalam keluarga (genetik), jarang berolahraga, mengonsumsi banyak garam, kopi,  dan alkohol. “Maka, gaya hidup sehat ini sangat berpengaruh untuk mencegah seseorang agar tidak mengidap hipertensi. Yakni antara lain diet dan olah raga yang teratur,” katanya.

Olah raga yang dianjurkan adalah olah raga ringan, intensitas sekitar 30 menit dengan frekuensi 3-5 kali seminggu. Pencegahan hipertensi yang lainnya adalah dengan mengurangi konsumsi garam, maksimal kurang dari satu sendok teh per hari. Selain itu, diupayakan tidak merokok dan menghindari asap rokok, diet dengan gizi seimbang,  dan mempertahankan berat badan ideal.

Ifa Mufida menjelaskan, Kementerian Kesehatan menghimbau berperilaku CERDIK untuk pencegahan Hipertens, yakni: Cek kesehatan secara rutin, Enyahkan asap rokok, Rajin aktivitas fisik, Diet seimbang, Istirahat cukup, dan Kelola stres.

Dia menambahkan, kebanyakan orang hipertensi tidak disertai dengan gejala atau keluhan tertentu. Namun, ada pula yang bergejala. Yang paling sering dirasakan adalah sakit kepala atau pusing, jantung berdebar, rasa sakit di dada, gelisah, sesak nafas, lemas, mudah lelah, dan penglihatan kabur. “Maka bagi sebagian penderita hipertensi, konsumsi obat harus dilakukan untuk mengatur tekanan darah. Meskipun pengobatan hipertensi yang utama adalah dengan merubah gaya hidup,” ujarnya.

Obat anti hipertensi diberikan jika tidak ada perubahan setelah modifikasi gaya hidup. Jika tekanan darah penderita sudah terkendali melalui perubahan gaya hidup, maka penurunan dosis atau konsumsi obat antihipertensi dapat dihentikan. “Efek samping dari konsumsi obat hipertensi juga akan menjadi perhatian. Tentunya jenis obat, dosis, dan kapan waktu yang tepat untuk menghentikan obat-obatan tekanan darah harus dikonsultasikan dengan dokter. Maka, sahabat civitas UM wajib kontrol jika sedang mengonsumsi obat penurun darah,” pesan Ifa.

Berdasarakan beberapa penelitian, modifikasi diet terbukti dapat menurunkan tekanan darah pada pasien hipertensi. Prinsip diet yang dianjurkan adalah gizi seimbang, yakni dengan membatasi gula dan garam. Lalu memperbanyak konsumsi buah, sayuran, kacang-kacangan, dan biji-bijian. Lalu mengonsumsi makanan rendah lemak jenuh antara lain unggas dan ikan yang berminyak. (div/mat)

Sumber|https://tabloidjawatimur.com/hipertensi-silent-killer-yang-harus-diwaspadai/