Ramai Kasus Bundir di Malang, Psikolog UM: Akibat Sosmed Berlebihan

Malang (beritajatim.com) – Terjadi sejumlah kasus bundir di Malang Raya, yang sebagian besar korbannya adalah generasi Z. Beberapa diantaranya disebabkan karena penyakit mental yang dialami korban. Terkait hal ini, beritajatim.com berkesempatan mewawancarai Dr. Nur Eva, M.Psi., Psikolog dari Universitas Negeri Malang (UM).

Menurut dosen Psikologi UM ini kemampuan mengelola stres dan mencapai gaya hidup sehat semakin menurun di setiap generasi. Penelitian American Psychological Association (2018) menegaskan temuan tersebut.

Jika fenomena ini berlanjut, maka ke depan, Generasi Z (Gen z) akan menjadi generasi yang paling stres sepanjang sejarah. Kondisi ini juga berkaitan dengan karakter Gen Z yang tidak memiliki batasan dengan individu lain sehingga memungkinkan mereka mudah labil karena menerima terpaan informasi dan kondisi yang cepat berubah dan serba acak.

Dr. Nur Eva, M.Psi., Psikolog UM (Foto: Istimewa)

“Fenomena ini menjadi memunculkan istilah generasi stroberi, generasi lunak yang dianggap rapuh dan mudah hancur seperti buah stroberi, walaupun secara penampilan buah stroberi menarik dan tampak indah,” ungkapnya saat dihubungi melalui sambungan WhatsApp, Minggu (17/12/2023).

Dijelaskan Nur Eva bahwa Gen Z adalah generasi yang lahir pada tahun 1997 – 2012. Gen Z memiliki sifat dan karakteristik yang sangat berbeda dengan generasi sebelumnya. Generasi ini dilabeli sebagai generasi yang minim batasan (boundary-less generation).

Gen Z memiliki harapan, preferensi, dan perspektif kerja yang berbeda serta dinilai menantang bagi organisasi. Karakter Gen Z lebih beragam, bersifat global, serta memberikan pengaruh pada budaya dan sikap masyarakat kebanyakan.

“Hal yang paling menonjol pada Gen Z adalah mampu memanfaatkan perubahan teknologi dalam berbagai sendi kehidupan mereka. Teknologi mereka gunakan sama alaminya layaknya mereka bernafas,” tuturnya.

Namun, kekurangan dari Gen Z adalah mereka belum memiliki keterampilan dan kepercayaan diri yang mumpuni untuk mengelola ketidakpastian lingkungan yang sering kali terjadi sehingga cenderung menjadi lebih cemas. Gen Z dilahirkan dan dibesarkan dalam pengasuhan yang terlalu protektif (overprotective) di tengah kondisi dunia yang serba tidak menentu.

“Resesi ekonomi, transformasi digital, invasi di beberapa negara, bencana alam, dan juga wabah penyakit. Ini yang kemudian menyebabkan di masa dewasa, Gen Z menjadi kurang toleran terhadap ambiguitas lingkungan karena masa kanak-kanak yang terlalu terlindungi,” jelas Dr. Nur Eva.

Berdasarkan data yang diperoleh dari Kementrian Kesehatan Republik Indonesia dapat dilihat terdapat peningkatan gangguan mental emosional dari tahun 2013 ke tahun 2018 dari provinsi di Indonesia, termasuk di Jawa Timur, dan di Malang.

Gangguan mental seperti, depresi, kecemasan, self harm, dan gangguan makan merupakan masalah kesehatan mental yang paling sering dialami oleh generasi Z. “Salah satu penyebab penyakit mental yang dialami generasi Z adalah penggunaan media sosial yang berlebihan,” tegas dosen dari Fakultas Psikologi UM ini.

Hal ini disebabkan paparan media sosial yang sangat massif dan pola asuh orang tua yang overprotective. Penggunaan media sosial yang normal hanya 30 menit saja setiap hari.

“Penggunaan lebih dari 30 menit, akan berdampak negatif karena media sosial mempunyai logika yang berbeda dengan realitas kehidupan,” tegas psikolog UM ini.

Selain itu, orang tua menjadi salah faktor yang menyebabkan terbentuknya karakter yang rapuh pada Gen Z. Memang secara alami, orang tua sebagai generasi X, tidak berharap anaknya mengalami pengasuhan yang otoriter sebagaimana diri mereka masa kecil.

“Sebaiknya, orang tua mempelajari pengasuhan yang lebih tepat untuk Gen Z. Pengasuhan yang lebih mengutamakan komunikasi, pengasuhan yang tegas, namun tetap hangat. Jenis pengasuhan ini dikenal dengan authoritative parenting,” harapnya.

Baca Juga  Jokowi Akui Sistem Zonasi PPDB di Lapangan Perlu Dievaluasi

Selain itu diharapkan orang tua menambah wawasan terkait dengan kesehatan mental. Dengan pemahaman kesehatan mental yang lebih baik orang tua akan lebih peka ketika mendampingi anak.

Orang tua saat ini hendaklah berempati terhadap situasi yang sedang dihadapi anak, ikut merasa yang dirasakan anak. Orang tua hendaklah tidak memilih sebagai kritikus dan menuntut anak, namun berperan sebagai sahabat dan pendengar yang baik bagi anak. Kuncinya adalah pengetahuan dan komunikasi.

Orang tua yang overprotective menciptakan karakter yang rapuh pada anak. Berilah anak tantangan sesuai dengan tahap perkembangannya. Jadi faktor internal dan eksternal yang berpengaruh terhadap kesehatan mental Gen Z.

Self diagnosis tidak boleh dilakukan kecuali oleh profesional yang mempunyai kompetensi terkait dengan kesehatan mental. Jika merasakan sesuatu yang tidak normal dalam kehidupan kita hendaknya segera menghubungi profesional.

Menurut Dr Nur Eva, setiap Fakultas Psikologi mempunyai layanan psikologi, setiap puskesmas dan rumah sakit dapat dijadikan tempat untuk memeriksakan diri. Tidak perlu menunggu sakit jika mendatangi profesional, pencegahan lebih baik daripada pengobatan.

Kesehatan mental sama pentingnya dengan kesehatan fisik, walaupun kadang masyarakat sering mengabaikan dan menomor duakan pemeriksaan kesehatan mental. Pemeriksaan kesehatan mental memerlukan observasi dan wawancara secara langsung. Hal ini yang tidak bisa digantikan dengan aplikasi.

“Penggunaan aplikasi hanya menjadi instrumen untuk mendapatkan data awal saja. Informasi pada media sosial membutuhkan verifikasi dari profesional. Sekali lagi jangan melakukan self diagnosis terhadap gangguan fisik dan psikologis yang kita alami,” katanya menutup. (dan/ian)

Sumber|https://beritajatim.com/pendidikan-kesehatan/ramai-kasus-bundir-di-malang-psikolog-um-akibat-sosmed-berlebihan/