Jangan Kaget, Zoologi Bisa Bergandengan dengan Sastra

.

SURYAMALANG.COM, JEMBER – Sekat antarilmu mulai menipis. Orang tidak lagi memandang ilmu yang hanya berdiri sendiri. Ilmu itu berkait dengan banyak hal.

Salah satu yang saat ini hangat dibahas adalah tentang ecocritisism (ekologi sastra) dan ekofeminisme. Itu dibahas oleh Setya Yuwana Sudikan dalam Seminar Nasional Pekan Chairil Anwar bertema teori kritis dan metodologi dalam dinamika bahasa, sastra, dan budaya, Kamis (27/6/2019).

Ekologi sastra (ecocriticism) yaitu studi tentang hubungan antara sastra dan lingkungan hidup, mengaplikasikan konsep ekologi ke dalam sastra. Pendekatan yang dilakukan yaitu menjadikan bumi (alam) sebagai pusat studinya.

“Ecocriticism memusatkan analisis data pada ‘green’ moral dan political agenda. Dalam hubungan ini, ecocriticism berhubungan erat dengan pengembangan dalam teori filsafat dan politik yang berorientasikan pada lingkungan,” kata Yuwana.

Ia mengingatkan, akan ada peleburan antara zoologi, botani, atau cabang ilmu lain dengan sastra.
Seminar nasional itu dilaksanakan di Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Jember. Acara itu juga sekaligus menjadi penghormatan kepada Sri Mariati, guru besar Unej, yang purnatugas.

Dalam seminar itu hadir empat pembicara, yaitu Novi Anoegrajekti, guru besar dari Unej, Setya Yuwana Sudikan, guru besar Universitas Negeri Surabaya, Djoko Saryono, guru besar Universitas Negeri Malang, dan Mardi Luhung, penyair dari Gresik.

Kebutuhan akan pembahasan teori kritis dan metodologi tentang bahasa, sastra, dan budaya. Itu membuat Novi dan timnya mengumpulkan artikel ilmiah yang dapat menjadi dasar bagi para peneliti etnografi.

Selama tujuh bulan, ada 77 artikel ilmiah yang berasal dari penelitian. Itu menjadi asupan segar bagi peneliti yang membutuhkan teori kritis dan metodologi untuk penelitian antropologi, etnografi, dan sejenisnya.
Penelitian itu dapat dirinci dalam otoetnografi.

Djoko menuturkan, otoetnografi sebagai metode merupakan pembalikan dari objektivitas yang dianggap terbaik, padahal subjek juga penting untuk diteliti. Subjek memiliki arti.

“Itu sebagai salah satu netode kajian sastra. Semuanya melalui riset. Diperlukan pemikir, pencatat, penulis. Pembaca berpikir, berkonsentrasi untuk mengamati, berpendapat,” kata Djoko.

Otoetnografi merupakan fusi antara etnografi dengan otobiografi. Subjek diri yang dituangkan ke dalam teks ilmiah, itulah kerja otoetnografi. Diri kultural itu yang membentuk otoetnografi.

Novi menguatkan posisi subjek itu. Identitas bukanlah esensi, melainkan sejumlah atribut identifikasi yang memperlihatkan bagaimana ia diposisikan dan memosisikan diri dalam masyarakat, karena aspek budaya dan kesejarahan merupakan kenyataan.

Teks karya sastra dan tradisi lisan (pertunjukan seni tradisi dan ritual) dianggap sebagai event cultural. Fenomena yang ada diartikan sebagai kesatuan peristiwa-pelaku-penafsiran, sebuah masyarakat melihat dan menafsirkan kehidupan sekitarnya.

Novi yang tekun meneliti budaya Banyuwangi itu memaparkan tentang perkembangan budaya Banyuwangi. Dinamika gandrung, seblang, dan komunitas yang menjaganya kini menjadi bagian dari perubahan kebijakan pemegang otoritas pemerintahan.

“Perubahan itu membuat simbol budaya menjadi identitas. Pada 2012-2019 kalender even di Banyuwangi ditata. Dalam setahun ada ratusan agenda yang mengangkat budaya. Kesepakatan budaya dengan situasi membuat kostum gandrung menjadi lebih tertutup tanpa meninggalkan esensi seninya,” kata Novi.

Sumber dari: https://suryamalang.tribunnews.com/2019/06/27/jangan-kaget-zoologi-bisa-bergandengan-dengan-sastra

Leave a Reply

Your email address will not be published.