Riset Psikologi: Anak Cerdas Belum Tentu Bahagia
Published on Sunday, 09 September 2018 19:49
Download Media Cetak Malang Post 13 Juli 2018
MALANG – Sebagian orang memandang beruntung memiliki anak yang masuk dalam kategori siswa cerdas istimewa. Sebab, siswa cerdas istimewa yang dikelompokkan dalam kelas akselerasi itu memang memiliki kemampuan kognitif jauh berbeda dengan anak biasanya. Dengan begitu orang tua dapat membanggakan kompetensi anaknya pada yang lain.
Ternyata, tak semua anak akselerasi yang disebut siswa cerdas istimewa mengalami perasaan yang bahagia. Hal ini bukan hanya ditengarai faktor capaian akademik, tetapi aspek religiusitas yang tak terpenuhi. Belum lagi, selama ini dinilai siswa aksel lebih sering gagal dalam aspek sosial. Hasil riset ini yang kemudian diulas lengkap dari sisi psikologi dalam buku kesejahterahan psikologis siswa cerdas istimewa pada 2018.
“Masyarakat itu seringkali menuntut siswa cerdas istimewa yang dinilai sempurna itu pintar dan memberi kontribusi besar di masyarakat. Mungkin dia menonjol pada sisi akademik tapi belum tentu diikuti sisi lainnya seperti sosial,” urai Peneliti kesejahterahan psikologis siswa cerdas istimewa, Dr Nur Eva SPsi MPsi kepada Malang Post.
Dosen psikologi UM ini menegaskan, dari hasil risetnya anak cerdas belum tentu bahagia, artinya kebahagiaan tak cukup pada kemampuan kognitif saja. Sebab, banyak variable yang menjadi faktor, salah satunya 30% dari agama. Ditengah tuntutan akademis siswa akselerasi, jika anak tak dapat mencapainya, maka akan cenderung mudah stres.
“Menjadi catatan, bahwa agama memberi kontribusi besar pada kebahagiaan siswa cerdas istimewa. Jika mereka memiliki keyakinan pada Tuhan, saat tak sesuai harapan tentu tak mudah stres,” ungkap wanita berjilbab ini.
Wanita yang telah memiliki empat buku ini, dua buku diantaranya fokus dalam perhatian kesejahterahan siswa SMA dan perguruan tinggi yang masuk kategori siswa cerdas istimewa. Menurutnya, saat ini banyak anak cerdas yang tak mau masuk kelas akselerasi karena adanya ketakutan menjadi seorang yang terpinggirkan.
“Sebenarnya mereka memiliki karakter enjoy dan suka belajar, jadi saat ditarget untuk menyelesaikan pendidikan lebih cepat tentu tak masalah. Permasalahannya, bukan soal akademik, melainkan tekanan sosial,” tuturnya.
Sepintar apapun anak, pasti membutuhkan orang lain, sehingga mempengaruhi kebahagiaannya. Dukungan sosial menjadi hal yang sangat dibutuhkan anak cerdas istimewa, sebab aktivitas pola belajar cenderung lebih individual. Peran orang tua dan guru, harus mampu memberi solusi dan pendampingan sehingga dalam kegiatannya masih menjadi bagian dari satu komunitas.
“Anak-anak level kecerdasan tinggi belum tentu menemukan teman yang mampu memahami dirinya. Jika tak punya teman, tentu akan merasa terpinggirkan. Bagi remaja itu bukanlah hal yang menyenangkan,” tegas Eva.
Dalam penelitian berikutnya, wanita yang masuk dalam nominasi dosen berprestasi di Fakultas Psikologi UM ini menambahkan, pada siswa tingkat SMA yang terbilang memiliki cerdas istimewa ini juga perlu disiapkan dalam hal kurikulum khusus. Hal ini ditengarai, potensi kepemimpinan pada siswa aksel belum terasah.
“Jangan hanya fokus pada akademik saja, tapi pengembangan karakternya bagi siswa akselerasi tadi juga diperlukan,” tuturnya.
Pendidikan karakter di sekolah kota Malang masih tergolong sangat umum kontennya. Terlebih memasuki era revolusi industri yang mendorong pendidikan teknologi disuguhkan pada anak begitu banyaknya. Eva menjelaskan, hal ini tentu memberi dampak pada karakter baik siswa regular maupun khususnya siswa cerdas istimewa.
“Tak boleh teknologi merobotkan manusia, sehingga sisi kemanusiaan hilang,” kata wanita yang sering memberi training parenting tersebut.
Dalam menghadapi era ini, diperlukan desain kurikulum khusus. Tak hanya mengejar kecanggihan teknologi, tapi sisi potensi manusia harus terus digali. Aktivitas manusia mulai dari perilaku secara alami yang membutuhkan orang lain, bekerjasama, hingga saling membantu tak boleh hilang. Karenanya, negara memiliki peran yang besar, dalam memandu menciptakan dan mendesain kurikulum untuk mengoptimalkan kompetensi SDM Indonesia yang terbilang masih dasar ini.
“Melalui penelitian ini, saya memberi masukan agar pemerintah mulai membuat clastering sesuai kebutuhan masyarakat yang akan sinkron dengan pembelajaran, tanpa menghilangkan sisi humanis,” tutup ahli parenting UM itu. (ita/oci)
Sumber dari: https://malang-post.com/pendidikan/riset-psikologi-anak-cerdas-belum-tentu-bahagia