Mahasiswa Perlu Bangun Branding Diri

Published on Tuesday, 25 September 2018 19:51

MALANG – Branding menjadi hal penting yang harus dibangun mahasiswa baru diawal memasuki perkuliahan. Pasalnya, melalui branding karakter, mahasiswa akan lebih dikenal tak hanya di lingkungan kampus tapi juga luar kampus. Melalui branding diri, akan memberi kemudahan lulusan nantinya dalam memperoleh pekerjaan.

“30 juta lulusan saat ini telah menganggur, jadi jangan ditambah dirimu,” ujar Pakar Kepribadian Dr Umi Dayati MPd pada pemaparannya dalam stadium general membangun sikap dan etika generasi milenial di era revolusi industri 4.0 di Unisma, kemarin.

Dimulai dari membangun branding selama kuliah akan memberi banyak manfaat pada masa mendatang. Umi membeberkan, maba terkesan takut dan terkukung dalam membangun pribadi dirinya. Padahal, branding akan memudahkan setelah lulus untuk mendapat pekerjaan.

“Jangan jadi mahasiswa afraid, bikin branding yang jelas. Sebab tanpa branding setelah lulus, dosen takkan ingat mahasiswa dan kampus takkan bangga,” tegasnya.

80% mahasiswa sukses karena sikap. Sikap yang identik dengan sopan santun berasal dari pengajaran orang tua. Branding juga dapat dibentuk dari sikap sopan santun pada dosen. Prinsip menjadi penting untuk menjawab karakter diri sendiri. Sebab, namanya mahasiswa 50% ilmunya berasal dari dosen, sisanya mempelajari sendiri.

“Maka kekuatan emosional harus dijaga dan self concept harus terbentuk mulai saat ini,” urai Umi.
Dosen Pendidikan Luar Sekolah UM ini menegaskan, mahasiswa harus mampu menyeimbangkan diri dengan mempelajari otak kanan. Energi impian harus dipercayai dan digantung pada dinding kamar. Menjadi maba harus aktif dengan organisasi dan kegiatannya melalui UKM atau di luar kampus. Tiga faktor sukses mahasiswa yakni knowledge, skill and behavior.

“Hidup jangan flat, keluarlah ikutlah UKM. Do it, big think serta terus berpikir positif pada Allah SWT. Jangan minder!” pesannya.

Sementara itu, Dekan Fakultas Ekonomi  dan Bisnis (FEB) Unisma, Nurdiana, SE, MSi berharap agar maba  yang tergolong sebagai generasi millenials ini mampu menjadi generasi penerus bangsa yang memiliki etika, termasuk berperan sebagai alat kontrol di dalam melakukan suatu tindakan. Seiring berjalannya waktu, generasi ini lebih mudah terpengaruh oleh arus globalisasi yang melunturkan perilaku-perilaku kebangsaan. Padahal ilmu yang diberikan di kampus tergolong semakin berat dan mulai bersaing.

“Jumlah generasi millenials di dunia kerja mencapai 50 persen dan diperkirakan tahun 2030, generasi ini akan menguasai 75 persen lapangan kerja global. Di Indonesia sendiri, generasi ini mencapai 34,45 persen populasi,” imbuh Diana. (ita/oci)

Leave a Reply

Your email address will not be published.