Demi Kampus Mengajar, Naik Motor lalu Pindah Getek

 
Malang, NewMalangPos – MENGABDI di program Kampus Mengajar butuh perjuangan. Seperti yang dialami Febia Alif Risqika. Mahasiswi Universitas Negeri Malang (UM) ini mengajar di SDN 4 Jambuwer Desa Jambuwer Kecamatan Kromengan Kabupaten Malang. Tak hanya jauh jarak tempuh tapi ia mengalami sulitnya mengajar. Butuh kesabaran.

Febi, sapaan akrab Febia Alif Risqika malah seorang mahasiswa penerima tantangan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Sekarang Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi). Yakni membantu pembelajaran di lembaga pendidikan yang berada di daerah 3T (Terpencil, Terpencil, Terluar) melalui program Kampus Mengajar.  

Ia ditempatkan di Desa Jambuwer Kecamatan Kromengan Kabupaten Malang. Tepatnya di SDN 4 Jambuwer. Lokasinya jauh dari tempat tinggalnya di Desa Toyomarto Kecamatan Singosari.

Tidak hanya jarak yang jauh, medan menuju sekolah tempat ia mengajar juga cukup menantang. “Pertama saya ke sana kaget sekali. Seperti naik ke pegunungan. Jalannya juga sepi, sempat khawatir juga,” katanya.

Lebih menegangkan bagi Febi, untuk ke Desa Jambuwer harus menyeberang kali. Menggunakan perahu kecil. Warga setempat menyebutnya getek. Itu kalau mau akses lebih cepat. Kalau tidak harus mengambil rute jalan yang lebih memutar. Tentu memakan waktu yang lebih lama lagi.  “Awalnya takut naik perahu ini, tapi setelah beberapa kali jadi terbiasa,” katanya.

Untuk ke Desa Jambuwer, Febi kadang harus berangkat pukul 06.00 WIB dari rumahnya. Bahkan bisa lebih pagi memacu motornya. Tergantung jadwal mengajarnya. Perjalanan dari rumah menghabiskan waktu sekitar 2 jam. Setiap mau berangkat kerja dalam bayangannya perjalanan yang panjang dan menantang. “Ini pilihan saya. Maka saya komitmen dengan keputusan itu, tidak ada kata mengeluh atau menyerah dari program Kampus Mengajar,” ujarnya.

Febi juga seorang guru di MTs Al-Jasmin Banjararum Singosari. Artinya dia harus berbagi waktu mengajar di dua tempat yang jaraknya berjauhan. “Saya berusaha membagi waktu dengan baik. Agar keduanya bisa berjalan dengan baik,” kata dia.

Dari pemerintah ia mendapat honor Rp 700 ribu per bulan. Kalau mau hitung-hitungan angka itu terlampau jauh dari kata untung. Karena transportasi saja butuh dana 50 ribu per hari.

Tapi bagi mahasiswi Fakultas Sastra Prodi S1 Pendidikan Bahasa Sastra Indonesia dan Daerah ini, honor bukan yang utama.

“Alasan utama saya ikut program ini untuk berbagi ilmu kepada anak-anak di desa terpencil. Selain juga pengalaman yang berharga bagi saya sebagai pendidik,” terangnya.

SDN 4 Jambuwer merupakan sekolah yang terbilang masih butuh banyak perhatian. Siswanya tidak banyak. Dalam satu rombongan belajar hanya belasan siswa. Tenaga pendidiknya juga bisa dihitung jari. Hanya 11 tenaga pendidik.

Statusnya akreditasinya masih B. Itu juga diperoleh belum lama ini. Di sekolah ini Febi mengabdikan diri mulai pertengahan Maret 2021 lalu. Bersama teman-temannya yaitu Alfianti Nursyafitri, Wufi Alfi, Onchi Gemilli Amaradipta, Dany Tri Wulandari, Alifia Putri Azahra dan Nana Dwi Dharma. 

Selama masa pandemi SDN 4 Jambuwer menerapkan pembelajaran semi daring. Karena tidak semua siswa atau orang tua memegang gadget. Apalagi rata-rata warga setempat pekerjaannya sebagai tani. Setiap hari pergi ke sawah. Untuk mendampingi anaknya belajar pun tidak akan maksimal.

Kondisi ini dimanfaatkan Febi beserta teman-teman sesama mahasiswa menampung dan mewadahi kegiatan belajar siswa. Tempatnya kadang menggunakan rumah-rumah warga. Karena ke sekolah saat itu masih dibatasi. “Meskipun di rumah warga tapi tidak banyak anak yang kami kumpulkan. Untuk menjaga prokes juga karena masih pandemi,” tukasnya.  

Tugas berat lainnya yakni mengajar anak-anak lancar membaca. Karena ada beberapa siswa kelas 2 SD yang perlu bimbingan khusus. Kebiasaan siswa berbicara menggunakan Bahasa Jawa dalam kelas menjadi salah satu tantangan mahasiswa mengajar. Terlebih saat memberikan pemahaman materi pada siswa. 

“Bagi saya kesulitannya lebih ke bagaimana kita mengajarkan kebiasaan berbahasa Indonesia yang formal kepada siswa khususnya di lingkungan sekolah. Karena kebanyakan siswa menggunakan Bahasa Jawa tingkatan terendah atau bahkan mencampur antara Bahasa Indonesia dengan Bahasa Jawa,” terangnya. (imm/van)

Sumber|https://newmalangpos.id/demi-kampus-mengajar-naik-motor-pindah-getek