Dari Lukisan yang Meneror hingga Bikin Kesengsem Pak Menteri

Achmad Asfali masih produktif melukis meski kini usianya sudah 61 tahun. Kadang lukisannya mengkritik tajam, kadang meneror, tapi ada juga yang memberi kesan mendalam bagi yang melihatnya. Seperti apa kiprahnya?

FAJRUS SHIDDIQ

Bertandang ke rumah Achmad Asfali di daerah Jalan Danau Ranau, Sawojajar, terlihat jelas kalau dia merupakan seorang pelukis yang kritis. Di salah satu sudut ruangan, terdapat lukisan anak kecil berseragam sekolah dasar (SD). Di dalam lukisan itu, terdapat tulisan Sekolah Bertarif Internasional.

Lukisan ini adalah cara Asfali menyampaikan kritik. ”Bukan bertaraf internasional ya, tapi bertarif,” ucap sekretaris Yayasan Pendidikan Taman Harapan Malang itu. Asfali memang terbiasa melukis fenomena yang faktual di massanya.

Dia lantas bercerita, dirinya mulai asyik di dunia menggambar sejak masih duduk di bangku sekolah dasar (SD). Dia memulai keisengannya menggambar dengan pensil konte. ”Alhamdulillah, waktu saya kelas enam, ada tetangga yang minta dirinya digambar. Saya dapat Rp 100,” ucapnya.

Saat itu, uang segitu masih besar. Uang tersebut menurut Asfali bisa untuk mentraktir teman-temannya di Bioskop Kelud. Asfali menyatakan, untuk satu tiket nonton, waktu itu Rp 10. Dengan demikian, jika dibeli tiket semua, maka uang itu bisa dapat sepuluh tiket.

Kegemarannya menggambar, berlanjut saat masuk Sekolah Menengah Pertama Negeri (SMPN) 6 Malang. Hampir dalam setiap kesempatan pelajaran kesenian menggambar, dia selalu diapresiasi. Bahkan dia menyebut, guru kesenian selalu mengambil gambar karyanya untuk dijadikan contoh siswa lain. ”Iya, guru saya keliling bawa hasil gambar saya. Sambil mengatakan, kalau menggambar seperti ini lho,” ucap pria berusia 61 tahun ini.

Kreativitas Asfali terus terasah. Saat sudah duduk di bangku sekolah menengah atas (SMA), dia sudah belajar membuat gambar-gambar relief. Tentu untuk terus mengasah kemampuannya, dia juga bergabung dengan komunitas-komunitas lukis di Malang. Hingga dirinya kuliah Teknik Mesin di Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan (IKIP) Malang atau Universitas Negeri Malang (UM). ”Saya banyak dikritik sama senior. Lukisan saya sangat kurang taste-nya. Apalagi jam terbang terhitung sangat minim,” kata alumnus SMAN 5 Malang itu.

Baginya, kritik itu membangun. Dia telaten mengasah kemampuan melukisnya. Ibarat pepatah, semakin tinggi pohon menjulang, semakin kencang angin yang menerjang. Dia sadar, untuk masuk ke level itu, Asfali butuh semangat dan harus tekun dalam melukis.

Hingga dia bisa ikut bersama para pelukis Malang dalam pameran bersama di gedung Dewan Kesenian Malang (DKM) tahun 2000. ”Ya awal saya pameran itu tahun 2000,” kata putra pasangan Abdul Ba’i-Supiyar itu.

Di tahun 2004, guru SMA Taman Harapan itu mengadakan pameran lukisan bersama 11 pelukis dalam Malang Tempo Doeloe (MTD) di kolam renang perumahan Permata Jingga. Eksotisme Terminal Sawahan dia gambarkan dalam bingkai lukisan. Owner Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU) Sawahan, Yoso, yang waktu itu mengunjungi pameran, langsung tertarik dengan lukisan karya Asfali. ”Bukan itu saja, saya kenal Pak Yoso. Dan beliau minta saya melukis taman makam pahlawan (TMP),” kata suami Kristinny Rahayu itu.

Tentu karena Asfali merupakan salah satu pematung monumen Mastrip di TMP. Dia mematung bersama seniman patung asal Jogjakarta, Tjatmoko. Dari cerita Yoso, ada 35 TRIP yang dikubur dalam satu lubang di TMP. Semua tentara tersebut merupakan teman seperjuangan Yoso. ”Sebelum saya melukis, Pak Yoso menceritakan semuanya. Juga saat beliau disandera di tank-tank. Beliau salah satu dari tiga TRIP yang selamat,” kata pelukis yang juga memahat relief Mastrip di Gereja Katedral Ijen.

Lukisan yang menggambarkan perjuangan Mastrip kemudian dibayar Yoso. Lukisan itu dia pajang di kantor tempat kerjanya di Oro-Oro Dowo. Tapi, kata Asfali, Yoso selalu merasa merinding saat melihat lukisan itu di ruangannya. Dia seolah melihat 35 rekannya menyapa dalam liang. Karena merasa diteror oleh lukisan itu, lukisannya kemudian diserahkan ke Wali Kota Malang Peni Suparto. ”Pak Yoso selalu terbayang-bayang akan temannya. Karena tidak mau itu terjadi terus-terusan, beliau menyerahkan lukisan itu ke wali kota. Sekarang saya lihat lukisan itu dipajang di Perpustakaan Umum Kota Malang,” kata bapak 4 anak itu.

Sejumlah pameran terus dia ikuti. Di Malang, Sidoarjo, Surabaya, Jogjakarta, dan Jakarta. Tidak sampai di situ saja, saat pameran di Semar Gallery Art Kota Araya Malang 2008, Asfali menjadi bagian dari 70 pelukis kenamaan. Dia memamerkan karyanya yang dia beri judul Frateran Malang Tempo Doeloe. Saat pameran, Menteri Pembangunan Daerah Tertinggal M Lukman Edy datang berkunjung. ”Saya ingat betul waktu itu sedang berada di lantai dua, kemudian diminta turun untuk berbincang dengan Pak Menteri,” kata pelukis kelahiran 21 April 1957 itu.

Lukisan itu pun dibayar Lukman Edy senilai Rp 8 juta. Tidak cukup satu, staf menteri kemudian meminta Asfali menunjukkan lukisan lain miliknya. Asfali mengambilnya di rumah, lalu diantarkan ke hotel tempat menteri menginap. Lukisan tersebut dibayar Rp 3,5 juta. ”Hari itu, saya senang bukan main. Selain karena lukisan dibeli Pak Menteri. Teman saya menghubungi, saya lulus sertifikasi guru, alhamdulillah,” syukurnya.

Asfali juga menjadi bagian dari pelukis yang ikut pameran saat peresmian kantor Jawa Pos Radar Malang di Jalan Arjuno 23 pada 2005. Dia termasuk dari sebelas pelukis yang memamerkan 25 lukisan. Semua lukisan yang terjual, hasil penjualannya didonasikan untuk korban bencana tsunami Aceh yang baru terjadi sata itu. Sedangkan saat ini, sudah terdistribusi ke Kanada, Australia, Belanda, Hongkong, dan Jepang. Asfali juga pernah meraih medali perak kompetisi seni lukis Indonesia Kaliseca Award 2009 di Pendapa Taman Budaya Surabaya. Hingga kini dia masih aktif melukis.

Sumber dari: https://radarmalang.id/dari-lukisan-yang-meneror-hingga-bikin-kesengsem-pak-menteri/

Leave a Reply

Your email address will not be published.