Berawal dari Keprihatinan Melihat Banyaknya Korban Akibat Gempa

Berawal dari Keprihatinan Melihat  Banyaknya Korban Akibat Gempa , Jawa Pos Radar Malang 22 Agustus 2017..

Berawal dari Keprihatinan Melihat Banyaknya Korban Akibat Gempa , Jawa Pos Radar Malang 22 Agustus 2017..

Download Jawa Pos Radar Malang 22 Agustus 2017

Alat temuan dari empat mahasiswa Universitas Negeri Malang (UM) ini barangkali menjadi pendeteksi gempa paling praktis yang pemah dibuat Alat ini efektif untuk mendeteksi getaran gempa yang bisa menghancurkan bangunan rumah

SEPINTAS, alat pendeteksi gempa yang diberi nama Pendulum Earthquake System (Pease) karya Yusuf Aji Wicaksono, Rangga Ega Santoso, Fitri Ika Mardiyanti, dan Septya Hanan Widyatama itu memang mirip dengan dudukan lampu. Apalagi, pada bagian bawah dari alat berbentuk piramida terbalik itu terpasang sebuah lampu bohlam.

Namun, bila diperhatikan lebih saksama, ada sejumlah komponen yang membuat Pease berbeda dengan dudukan lampu pada umumnya. Sebab, pada bagian permukaarmya terdapat speaker dan sebuah tombol.

Yusuf menjelaskan, pada bagian dalam alat ini terdapat komponen pendeteksi. Termasuk pendulum yang sensitif terhadap getaran gempa. “Di dalam kotak (Pease) ini kami menggunakan sistem arduino. Yakni, sistem komputerisasi yang bertugas mengirim sinyal ke speaker” kata Yusuf.

Dia menjelaskan, Pease bisa mendeteksi gempa paling rendah 4 skala Richter (SR). Pihaknya   memang sengaja merancang, agar perangkat Pease tidak reaktif , terhadap getaran di bawah 4 SR.Sebab, bila dirancang untuk bereaksi pada getaran di bawah SR, maka goncangan kecil yang disebabkan oleh manusia maupun hewan peliharaan bisa mem-bunyikan sirene. “Selain itu, beberapa penelitian yang kami baca, gempa 4 SR (ke atas) itulah yang berbahaya karena bisa merobohkan bangunan,” katanya.

Seperti dijelaskan di atas, Pease memang langsung mengeluarkan suara sirene ketika terjadi gempa di atas 4 SR. “Sirene yang berkekuatan 90 desibel berbunyi selama 11 detik. Itu sudah cukup kuat untuk menibangunkan orang yang sedang tidur pulas,” ujar mahasiswa berusia 20 tahun ini.

Dengan bentuknya yang menyatu dengan lampu bohlam, Pease bisa diaplikasikan di rumah. Ini tentu berbeda dengan detektor gempa sebelumnya yang berupa seismograf. “Seismograf bukan perangkat yang praktis. Butuh alat yang gampang dan praktis untuk memberikan peringatan secara dini ketika terjadi gempa,” kata Yusuf.

Pengoperasian alat ini juga terbilang mudah dan minim perawatan. Sebab, alat ini me-miliki baterai berdaya 2.000 mAh. Baterai itu bisa diisi ulang secara otomatis dengan menggunakan listrik arus bolak-balik (alternating current/AC) dari PLN.

Namun, untuk performa yang lebih baik, Yusuf menganjurkan pengguna alat ini untuk mela-kukan pengecekan paling tidak satu bulan sekali. Pengecekan itu untuk melihat apakah kabel-kabel di dalam perangkat itu masih tersambung dengan baik atau tidak. “Pengecekan bisa dilakukan oleh pengguna sendiri karena alat ini komponennya sederhana. Kami juga memberikan penjelasan kepada pengguna ketika alat tersebut dipasang di rumah,” tambahnya.

Karena sistemnya yang dibuat sesederhana mungkin, Pease bisa diproduksi dengan biaya lebih murah. “Waktu kami produksi menghabiskan biaya Rp 575 ribu per unit. Tapi, kalau produksinya masal, biayanya bisa ditekan hingga Rp 300 ribu per unit,” terang Yusuf.

Dengan biaya pembuatan yang lebih murah itu, Pease memiliki kans besar untuk diaplikasikan ke banyak rumah. Sejauh ini, Pease sudah menjalani serangkaian uji coba.

Termasuk uji coba ke Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG). “Pada 15 Agustus 2017, kami lakukan kunjungan ke BMKG Kabupaten Pasuruan. Selain data kegempaan, kami juga meminta alat itu dites,” ujar dia. Hasilnya, Pease memang bisa bekerja dengan baik dan mendeteksi getaran di atas 4 SR.

Lebih lanjut Yusuf berharap, keberadaan Pease ini bisa membantu banyak orang, terutama menyelamatkan banyak nyawa. “Alat ini kami buat sebagai bentuk pengabdian kepada masyarakat. Kami ingin meminimalisasi jatuhnya korban jiwa ketika ada bencana gempa bumi,”
tambah Yusuf.

Adapun, proyek pembuatan Pease ini berawal dari kepri¬ hatinan Yusuf dan rekan-rekannya terhadap lambannya pemerintah membuat sistem deteksi gempa secara dini yang lebih memadai. Dia mendengar, pemerintah barn akan menjalin kerja sama dengan Jepang untuk membangun early warning system (sistem peringatan dini) tahun depan.

“Saya menyayangkan karena satu tahun itu bukan waktu yang sebentat Belum lagi waktu pengembangan dan uji coba Oleh karena itu, kami menciptakan inovasi ini,” ujar dia Sebab, di Indonesia, gempa bisa terjadi sewaktu-waktu. Apalagi, beberapa peristiwa yang terjadi
selama ini telah memakan banyak korban jiwa

Pease ini dibuat oleh Yusuf dan kawan-kawan dalam waktu lima bulan. Mereka mendapatkan support dari Dirjen Dikti Ke-menristekdikti sebesar Rp 10 juta untuk pengembangan alat tersebut. “Soal kendala yang pernah kami hadapi adalah saat mengukur kekuatan gempa untuk diaplikasikan ke alat itu,” pungkasnya. (*/c2/muf)

Leave a Reply

Your email address will not be published.